Bisa jadi berita foto itu mewakili pandangan sebagian masyarakat di negeri ini, yang menganggap Indonesia sudah aman dari penularan virus COVID-19. Pandangan ini berangkat dari data penularan COVID-19 yang terus menurun.
Memang, menjelang akhir tahun 2021, kondisi COVID-19 di Indonesia terlihat membaik. Meski demikian, kasus harian dan kasus kematian akibat COVID-19 masih bertambah.
Merujuk data dari Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 hingga Senin (25/10/2021) pukul 12.00 WIB, ada penambahan 460 kasus baru dalam 24 jam terakhir. Penambahan tersebut menyebabkan total kasus COVID-19 di Indonesia saat ini mencapai 4.240.479, terhitung sejak kasus pertama diumumkan Presiden RI Joko Widodo pada 2 Maret 2020.
Banyak yang menilai angka 460 kasus positif itu "sangat kecil" dibandingkan saat puncak penularan COVID-19 di Tanah Air. Pada pertengahan Juli 2021 kasus positif menembus 54.517 penambahan per hari. Perbandingan angka inilah yang membuat sebagian masyarakat sudah tenang. Gara-gara merasa tenang, protokol kesehatan mulai mengendur. Lebih tenang lagi karena menganggap vaksinasi sudah berjalan maksimal.
Jika melihat data perkembangan vaksinasi nasional, sebenarnya belum bisa dikategorikan aman. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan data laporan vaksinasi COVID-19 secara harian pada Sabtu (23/10/2021) hingga pukul 12.00 WIB, capaian vaksinasi dosis pertama secara nasional sebanyak 112.271.928 dosis atau setara dengan 53,91 persen dari target sasaran. Kemudian, capaian vaksinasi dosis kedua secara nasional sebanyak 67.165.732 dosis atau setara dengan 32,25 persen.
Persentase itu menunjukkan vaksinasi masih jauh dari target nasional. Artinya, belum bisa dibilang aman. Masih harus mengejar sasaran target vaksinasi COVID-19 secara nasional sebanyak 208.265.720 warga agar "herd immunity" di Indonesia tercapai.
Lantas, kapan hal tersebut akan terjadi? Apa saja syarat agar target herd immunity di Indonesia bisa segera tercapai?
Sekadar mengingatkan, herd immunity adalah sekumpulan populasi manusia yang kebal terhadap penyakit tertentu, sehingga memberikan perlindungan tidak langsung bagi sekelompok orang yang tidak kebal terhadap penyakit. Sebagai contoh, jika ada 80 persen lebih populasi manusia yang kebal terhadap virus corona, empat dari setiap lima orang yang bertemu dengan pengidap tidak akan terinfeksi virus.
Herd immunity tidak akan membuat virus menyebar lebih luas. Dengan cara tersebut, penyebaran infeksi virus corona dapat dikendalikan dengan baik. Herd immunity di suatu daerah akan berbeda-beda, tergantung pada seberapa menular suatu penyakit dan kekebalan tubuh masing-masing orang.
Secara umum herd immunity terjadi ketika sedikitnya 70 persen masyarakat sudah divaksin. Mereka akan memiliki antibodi terhadap COVID-19, sehingga pandemi dapat segera diatasi.
Baca juga: Jokowi minta libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 dikelola secara baik
Baca juga: Luhut: Vaksinasi dosis dua RI masih tertinggal dari Singapura-Malaysia
Persentase ini setara dengan vaksin yang sudah diberikan kepada 208.265.720 orang, sebagaimana dilansir dalam Satuan Tugas Penanganan COVID-19. Di dalamnya termasuk tenaga kesehatan, kaum lanjtu usia, petugas publik, masyarakat rentan dan masyarakat umum, serta anak-anak berusia 12-17 tahun.
Presiden Joko Widodo menetapkan target sebanyak 1 juta penyuntikan dosis vaksin COVID-19 per hari, sejak Juli lalu. Hitung-hitungannya, jika diberikan dalam jumlah 1 juta dosis per hari, sebulan sekitar 30 juta dosis, dan setahun 360 juta dosis. Target sudsh terlewatkan. Kira-kira pada Juli 2022 herd immunity sudah tercapai.
Karena itu, sepanjang herd immunity belum tercapai, alangkah baiknya protokol kesehatan (prokes) tidak mengendur. Presiden berulangkali mengingatkan masyarakat untuk tetap menjalankan prokes. Begitupun penegasan Satgas Penanganan COVID-19. Prokes dalam masa pandemi mutlak untuk mencegah penularan.
Vektor penularan COVID-19 ini adalah manusia, sehingga kerumunan harus tetap dihindari. Melepas masker di tempat umum tentu masih berbahaya, karena memperbesar risiko penyebaran jika seseorang sedang terjangkit virus.
Satgas mengingatkan banyak pelajaran yang dapat diambil dari kasus sejumlah negara seperti Amerika Serikat. Di negara itu, prokes sempat dilonggarkan dan masyarakat boleh tidak memakai masker ketika populasi yang harus divaksin sudah lebih dari 60 persen. Namun yang terjadi, kasus penularan dan meninggal akibat COVID-19 malah meningkat.
Epidemiolog dari Griffith University di Australia, Dicky Budiman juga mengingatkan bahwa masyarakat masih perlu berwaspada dan menaati protokol kesehatan. Akan sangat berbahaya jika masyarakat mengabaikan prokes dan berpikir pandemi sudah lewat karena angka COVID-19 menurun.
Ia mengatakan pemakaian masker masih menjadi kewajiban jika berada di luar ruangan. Selain itu, menjauhi kerumunan dan menjaga jarak juga masih penting dilakukan.
Berdasarkan penelitian Proceedings of the National Academy of the Sciences of the United States of America tahun 2021, pemakaian masker di luar ruangan masih efektif menangkal pemaparan virus sebesar 70 persen sedangkan di dalam ruangan, efektivitasnya bisa mencapai 80 persen.
Jadi, jangan kendur menjalani prokes karena Indonesia masih berada dalam level penularan di komunitas. Dengan demikian, penularan masih tergolong buruk dan risiko penyebaran masih potensial.
Baca juga: Menko Airlangga: Pemerintah siapkan peta jalan menuju era normal baru
Baca juga: Wapres ingatkan "herd immunity" nasional perlu kerja keras
Pewarta: Nusarina Yuliastuti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021