"Jika sudah seharusnya DPD menjadi saluran masyarakat yang menginginkan hadirnya calon presiden dari unsur non partai. Dorongan itulah yang membuat kita untuk menggulirkan ikhtiar untuk mengembalikan atau memulihkan hak konstitusional DPD dalam mengajukan pasangan capres-cawapres," kata LaNyalla, saat menjadi pembicara kunci di Institut Agama Islam Negeri Pontianak, Rabu.
Ia mengatakan, disebut memulihkan, karena jika melihat sejarah perjalanan lembaga legislatif, hilangnya hak DPD untuk mengajukan kandidat capres-cawapres adalah "kecelakaan hukum" yang harus dibenahi.
Baca juga: Ketua DPD RI: Penting koreksi arah perjalanan untuk perbaikan bangsa
Dulu, lanjut LaNyalla, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih MPR yang terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan.
Artinya, baik DPR maupun unsur utusan daerah dan utusan golongan sama-sama memiliki hak mengajukan calon.
DPD lahir melalui Amendemen perubahan ketiga, menggantikan utusan daerah. Maka, hak-hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak dikebiri. Termasuk hak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca juga: Bamsoet: Wacana menghidupkan Utusan Golongan perlu lebih dielaborasi
"Anggota DPD dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat dan ini menjadikan DPD sebagai lembaga legislatif Non-Partisan yang memiliki akar legitimasi kuat. Sehingga hak DPD untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah rasional," kata LaNyalla, dalam FGD yang mengambil tema Amandemen ke-5 UUD 1945: Penghapusan Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Membuka Peluang Calon Presiden Perseorangan itu.
LaNyalla juga mengungkap hasil survei Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 lalu. Hasilnya, 71,49 persen responden menyatakan calon presiden tidak harus kader partai.
Baca juga: Amendemen UUD 1945: Perlu atau tidak?
"Studi ini harus direspon dengan baik. DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden tersebut," kata dia.
Selain itu kalau Partai Politik yang representasinya adalah anggota DPR, dapat mengajukan pasangan capres dan cawapres, maka DPD RI sebagai representasi daerah idealnya mendapat kesempatan yang sama. Apalagi anggota DPD sebanyak 136 orang, yang duduk di Senayan juga dipilih melalui Pemilu, dengan dapil setingkat provinsi.
"Harus diingat juga bahwa negara ini bukan dilahirkan oleh partai politik, di mana negara ini lahir dari proses perjuangan komunitas civil society, mulai dari kerajaan Nusantara hingga komunitas pergerakan, pesantren, ulama, cendekiawan serta organisasi masyarakat sipil lainnya. Sehingga sangat wajar, bila entitas masyarakat madani dari kalangan non partai politik memiliki saluran politik untuk menjadi pemimpin bangsa," katanya.
Baca juga: Survei SMRC: 78 persen masyarakat tidak inginkan amendemen UUD 1945
Hal tersebut juga telah dijamin konstitusi. Seperti dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".
Begitu pula dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Lalu di pasal 28D ayat (3) jelas dikatakan bahwa "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan".
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Amendemen UUD harus melewati kajian mendalam
"Sehingga gagasan untuk membuka peluang calon pemimpin dari kalangan non-partai politik adalah konstitusional. Wacana Amendemen ke-5 harus kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi atas sistem tata negara sekaligus arah perjalanan bangsa ini, demi masa depan Indonesia yang lebih baik," kata LaNyalla.
Pewarta: Rendra Oxtora
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2021