• Beranda
  • Berita
  • Indonesia berpotensi jadi penentu arah hadapi krisis iklim

Indonesia berpotensi jadi penentu arah hadapi krisis iklim

28 Oktober 2021 08:36 WIB
Indonesia berpotensi jadi penentu arah hadapi krisis iklim
Sejumlah pelajar yang tergabung dalam komunitas Youth Kalimantan melakukan aksi menuntut keadilan iklim di tengah permukiman warga yang terendam banjir di Kalampangan Baru, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (24/9/2021). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.

Dari sisi hilir atau konsumen perlu difasilitasi mendaur ulang sampahnya

Indonesia sebagai negara dengan tutupan hutan tropis luas berpotensi menjadi negara adidaya penentu arah menghadapi krisis iklim dengan inovasi dalam pembangunan ekonomi hijau bertumpu pada kesejahteraan bersama serta kesadaran menjaga lingkungan.

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Chenny Wongkar dalam keterangan tertulis Komunitas Peduli Krisis Iklim yang diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan misi menjadi negara adidaya penentu arah menghadapi krisis iklim itu dapat dirintis pada 31 Oktober–12 November 2021 dalam acara UN Climate Change Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang bakal digelar di Glasgow, Inggris, yang rencananya dihadiri langsung Presiden Joko Widodo.

Namun, menyumbang peran dalam hal besar itu bukan perkara mudah. Indonesia, kata Chenny, perlu berinovasi dalam pembangunan ekonomi untuk mencapai target yang dimaksud di mana pembangunan mengedepankan jaminan bahwa kondisi lingkungan hidup tetap terjaga, menunjang kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi krisis iklim.

Menurut Chenny, Indonesia perlu menghentikan model ekonomi ekstraktif yang berfokus pada keuntungan jangka pendek dan beralih pada ekonomi hijau dengan keuntungan jangka panjang. Langkah yang bisa diambil adalah segera beralih dari sumber energi berbasis fosil seperti batu bara dan turunannya menuju energi terbarukan.

Sementara itu, Program Manager Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform (IESR) Deon Arinaldo mengatakan, jika mengutip pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim 2050 (Long-Term Strategy on Low Carbon and Climate Resilient Development/LTS-LCCR 2050), sektor energi pada 2030 diperkirakan menghasilkan emisi lebih dari 1.100 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Sementara, ketika itu Indonesia, diharapkan telah menurunkan emisi agar dapat meraih Net Zero Emmission (NZE) sebelum 2060 namun di sisi lain 91 persen transportasi domestik saat ini masih didominasi energi fosil, kata Deon. Jika transisi energi hanya dilakukan pada sumber energi tak terbarukan seperti batu bara cair atau gas, maka peralihan menuju energi terbarukan akan terhambat.

Baca juga: Menteri Kehutanan Korea: KIFC berkontribusi lawan krisis iklim global

Baca juga: Generasi Z perlu cermat lihat agenda politisi pada isu iklim


Sedangkan Program Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan Salma Zakiyah mengatakan dalam perang melawan krisis iklim kunci kemenangan bisa diraih dengan melindungi dan memulihkan ekosistem alam. Dalam empat tahun terakhir Indonesia mampu meredam laju deforestasi, namun sekitar 9,6 juta hektare (ha) hutan alam Indonesia dan 2,8 juta ha ekosistem gambut masih terancam mengalami penggundulan.

Pemerintah juga harus merealisasikan target 12,7 juta hektare perhutanan sosial, agar masyarakat adat atau warga lokal bisa turut menjaga hutan. Selain itu, hutan-hutan yang telah rusak dan terbakar juga perlu direhabilitasi.

Untuk sektor sampah, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia Yobel Novian Putra mengatakan pengelolaan seharusnya dilakukan secara menyeluruh sejak dari produksi hingga konsumsi. Seyogyanya memang pengelolaan sampah harus difokuskan sejak dari hulu alias produsen dengan menegakkan Extended Producer Responsibility (EPR) yang mewajibkan mereka mengubah desain kemasan dari sekali pakai menjadi isi ulang.

"Dari sisi hilir atau konsumen, mereka perlu difasilitasi mendaur ulang sampahnya dan berikan sanksi tegas harus dijatuhkan bagi mereka yang tidak memilah sampah," katanya.

 Pemerintah perlu mengevaluasi penggunaan teknologi pembakaran sampah atau thermal incinerator yang menghasilkan emisi dan abu yang serius berdampak pada kesehatan, dan mengarahkan masyarakat melakukan pengomposan sampah domestik sehingga volume bisa berkurang.

Saat ini, ada 514 tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota/kabupaten yang masih memberlakukan sistem terbuka (open dumping) dan diproyeksikan melepas gas metana 296 MT CO2e pada 2030. Karenanya, ia mengatakan pemerintah perlu mengontrol pelepasan gas metana di sana.

Sementara analisis Climate Policy Initiative (CPI) Brurce Mecca mengatakan, pemerintah perlu membuat kebijakan yang menarik bagi investasi hijau. Misalnya dengan memberi insentif bagi investasi hijau dan disinsentif bagi investasi sektor kotor bagi pemerintah daerah, sehingga dapat mengarahkan Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus digunakan untuk penganggaran energi hijau yang mampu menggaet investasi hijau swasta dan luar negeri.

Baca juga: Luhut bahas isu lingkungan hingga investasi dalam kunjungan ke AS

Baca juga: Indonesia dorong implementasi penuh dan efektif Kesepakatan Paris

 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021