"Saat Sumpah Pemuda diikrarkan, para pendiri bangsa memperlihatkan bagaimana mereka mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan. Mereka sepakat menanggalkan primodialisme dengan menerima serta menghargai perbedaan demi masa depan bangsa," kata Ahmad Basarah dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Ahmad, semangat persatuan itu terlihat dari daftar peserta kongres, bahwa pemuda yang hadir kala itu berasal dari beragam suku bangsa dan agama, termasuk keturunan Tionghoa dan dan Arab ada di dalamnya.
Baca juga: Museum Sumpah Pemuda tutup hingga akhir tahun
Tidak hanya itu, menurut Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini, tempat yang digunakan sebagai lokasi deklarasi Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya Nomor 106 yang kini dijadikan Museum Sumpah Pemuda, adalah rumah milik peranakan Tionghoa, Sie Kong Liong. Yang artinya, sejak awal fondasi bangsa Indonesia dibangun di atas kebhinekaan.
"Mestinya pesan kebangsaan inilah yang harus diteladani terus-menerus. Generasi muda bangsa sebagai generasi penerus harus terus menjaga dan merawat pesan kebangsaan itu," tegas Ahmad Basarah.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan itu, para pendiri bangsa yang saat itu rata-rata usia muda, cerdas melihat masa depan Indonesia. Para tokoh muda itu memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bukan Bahasa Jawa yang saat itu digunakan oleh mayoritas penduduk, agar suku-suku lain yang juga relatif besar seperti Sunda tidak cemburu pada suku Jawa.
"Bahasa Melayu saat itu juga menjadi bahasa "Lingua Franca" atau bahasa penghubung di antara etnis, bangsa, dan latar belakang sosial yang beragam di kepulauan nusantara. Kesamaan "Lingua Franca" inilah yang juga mempersatukan keragaman etnis di negeri kita yang kelak menjadi Republik Indonesia," terangnya.
Dewasan ini, Ahmad Basarah mengkhawatirkan tentang tren radikalisme yang terjadi di kalangan pemuda Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan serah persatuan bangsa Indonesia.
Dosen Pascasarjana Universitas Islam Malang itu prihatin kalangan pemuda yang rentan terpapar ideologi transnasional. Resistensi terhadap nasionalisme itu muncul selain akibat faktor kemajuan teknologi (internet) yang membuat dunia menjadi semakin terbuka dan global, juga disebabkan oleh minimnya pemahaman pemuda pada sejarah bangsa sendiri.
Baca juga: Anggota DPD dorong pemuda berperan aktif perbaiki negeri
"Akibatnya, mereka menoleh pada ideologi lain sebagai alternatif, termasuk ideologi transnasional yang mengusung konsep negara khilafah," ujar Doktor bidang hukum lulusan Universitas Diponegoro Semarang itu.
Sekretaris Dewan Penasihat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) itu juga mengemukakan, selama kurun antara tahun 2000-2020, terjadi 553 serangan teror di seluruh wilayah Indonesia. Itu berarti, rata-rata setiap bulan terjadi dua kali aksi teror dalam 20 tahun terakhir. Dari jumlah itu, banyak pelakunya tergolong masih muda.
Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Februari 2017 memperlihatkan bahwa lebih dari 52 persen narapidana kasus terorisme yang menghuni lembaga pemasyarakatan adalah generasi muda berusia 17 - 34 tahun.
BNPT juga menyebut radikalisme sudah masuk ke dunia pendidikan termasuk kampus. Ini sejalan dengan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada 2018. Survei tentang sikap keeberagamaan guru sekolah/madrasah di Indonesia mendapatkan, 50,87 persen responden dari total 2.237 sampel guru (1.811 guru sekolah dan 426 guru madrasah) mempunyai opini radikal dan intoleran.
"Sebelum kemerdekaan, para pemuda adalah tulang punggung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Karena itu, tugas pemuda sekarang adalah mewarisi api sumpah pemuda, tidak menyia-nyiakan pengorbanan para pejuang dan syuhada bangsa. Mereka harus kokoh menjaga NKRI dari ancaman ideologi transnasionalisme, termasuk paham khilafah," kata Ahmad Basarah.
Baca juga: Sumpah Pemuda, Satu Indonesia Awards Astra 2021 apresiasi 11 anak muda
Baca juga: Menag ingatkan masa depan bangsa di tangan para pemuda
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021