Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo merekomendasikan agar pemerintah dapat membatalkan Surat Edaran Nomor 88 Tahun 2021 yang mewajibkan hasil tes PCR sebagai syarat penerbangan domestik karena banyak aspek yang sebenarnya membuat ketentuan itu tidak perlu.PCR bukan alat untuk menjaga tidak tersebarnya COVID lagi, tapi menurut saya memperbanyak vaksin. Itu sudah sesuai dengan standar WHO. WHO saja hanya mensyaratkan antigen kalau sudah vaksin dua kali. Jadi kita mau ikut standar mana sih, sebetulnya? S
"Di Jawa sudah PPKM level 1. Kalau PPKM level 1 saja diwajibkan PCR, lalu untuk apa kriteria level tersebut? Mestinya ketika PPKM level 1 kita cukup pakai antigen saja, atau bahkan tidak pakai tes COVID lagi. Hampir 60 persen menurut data warga Indonesia sudah divaksinasi. Lalu, gunanya apa vaksinasi?" kata Sigit Sosiantomo dalam rilis di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, kewajiban tes PCR akan menyusahkan masyarakat karena beberapa faktor, mulai dari ketersediaannya yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia, masa berlakunya yang terlalu singkat, serta harganya yang relatif mahal.
Hal tersebut dinilai Sigit akan merugikan masyarakat, terlebih mengingat aturan dalam Surat Edaran ini rencananya akan diterapkan ke seluruh moda transportasi.
Sigit menyarankan pemerintah semestinya mencontoh negara seperti Amerika dengan membuat peta wilayah penyebaran risiko COVID-19 untuk menilai wilayah mana saja yang membutuhkan pemberlakuan syarat tes COVID-19.
Ia mengemukakan, alasan utama pemerintah melalui Kemenhub mensyaratkan hasil tes PCR untuk penerbangan domestik adalah terkait rencana peningkatan kapasitas pesawat.
Padahal, lanjutnya, menurut penelitian IATA (International Air Transport Association), transportasi udara merupakan salah satu moda transportasi yang paling aman dari penyebaran COVID-19.
"PCR bukan alat untuk menjaga tidak tersebarnya COVID lagi, tapi menurut saya memperbanyak vaksin. Itu sudah sesuai dengan standar WHO. WHO saja hanya mensyaratkan antigen kalau sudah vaksin dua kali. Jadi kita mau ikut standar mana sih, sebetulnya? SE itu rujukannya mau standar apa?" katanya.
Senada, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut bahwa kebijakan ini lebih kuat muatan bisnisnya daripada tujuan kesehatan.
"Persyararatan perjalanan dalam negeri khususnya wilayah Jawa Bali dengan mewajibkan test PCR dan sudah vaksin menjadi kebijakan aneh dan diduga motif ekonomi lebih kuat dibandingkan alasan kesehatan," katanya.
Sebagaimana diwartakan, Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof Zubairi Djoerban mengemukakan ketentuan tes PCR bagi pelaku perjalanan karena perlindungan vaksinasi COVID-19 belum 100 persen efektif.
"Vaksinasi memang aman dan efektif, kita bilang begitu memang buktinya demikian. Bukti datanya juga amat sangat akurat, tapi sebetulnya tidak 100 persen efektif," kata Zubairi Djoerban dalam acara Anda Bertanya IDI Menjawab di YouTube Kemkominfo RI yang diikuti dari Jakarta, Jumat (29/10) malam.
Zubairi mengatakan vaksin COVID-19 tidak 100 persen aman dan ada sedikit efek samping pada orang tertentu. Efikasi vaksinasi pun rata-rata masih berkisar 65 persen hingga 95 persen. "Jadi belum 100 persen efektif," katanya.
Zubairi mengatakan fakta tersebut dibuktikan dengan laporan 207 dokter yang sudah divaksinasi meninggal akibat infeksi SARS-CoV-2 pada Juli 2021.
"Kemudian data yang lebih valid dari Amerika lebih akurat amat sangat rinci mereka sudah vaksinasi lebih dari 180 juta orang, ternyata masih ada 30 ribu lebih yang harus masuk rumah sakit akibat infeksi COVID-19. Sebanyak 10 ribu lebih meninggal," katanya.
Baca juga: Satgas IDI: Ketentuan PCR karena vaksin belum 100 persen efektif
Baca juga: Kemendagri lakukan penyesuaian aturan PCR di Inmendagri terbaru
Baca juga: Kebijakan PCR bersifat dinamis
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021