Hanya dalam waktu dua hari, La Ode merangkum segala problematika yang mendera Korps Bhayangkara, lalu menuangkannya dalam sebuah sketsa untuk dikirimkan ke panitia lomba mural Polri.
Menurutnya, inilah momen pas untuk mengkritik "pak polisi" dengan harapan kritik itu didengar dan syukur-syukur ada perbaikan.
Melihat karya mural La Ode di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Sabtu (30/10), seperti membaca satu halaman penuh berita berisi tentang masalah-masalah menyelimuti Koprs Bhayangkara.
Ada Monalisa ditangkap polisi, razia yang membiarkan kendaraan pelat merah melintas bebas, dewi keadilan yang timbangannya diisi koin emas, dan sejumlah uang tersemat di sabuk pinggangnya, lalu gambar sosok polisi yang menakutkan.
La Ode memvisualkan permasalahan di tubuh Polri seperti pungutan liar (pungli), razia yang menyasar masyarakat bawah membiarkan kalangan elite pemerintahan, pembungkaman karya seni, Polisi yang jadi momok menakutkan masyarakat, polisi yang memperlakukan demonstran seperti di ring tinju, hingga keadilan yang memihak siapa yang punya uang.
Di antara visual-visual yang menggambarkan berita-berita negatif Polri itu, La Ode menyematkan sekuntum Bunga Bangkai di bawah kaki Dewi Keadilan.
Sebuah pesan tersemat bahwa bunga bangkai yang terlihat memesona dengan ukurannya, dan satunya bunga langka yang dimiliki Indonesia, tetapi berbau busuk seperti bangkai.
Seperti itu pesan menohok yang diisyaratkan oleh La Ode dalam karyanya bahwa keadilan yang ditutup-tutupi akan tercium kebusukan di dalamnya.
"Inikan bunga bangkai itu saya 'gambarin' ketika keadilan itu sudah disepelekan lama-lama tercium juga bau busuknya, walaupun sudah benar-benar dipublikasikan bahwa hukum yang dijalankan adil, tapi kalau banyak pelanggaran, ya jadi momok juga," ucap La Ode.
Siapa sangka, gambar penuh kritikan karya La Ode tampil sebagai juara pertama Bhayangkara Mural Festival 2021, dia berhak menerima piala warna emas dari Kapolri, serta membawa pulang uang hadiah senilai Rp50 juta.
Festival mural yang pertama
La Ode pemenang asal kepesertaan dari wilayah Jabodetabek, karyanya mampu menyisihkan 80 peserta dari berbagai daerah di Indonesia yang berhasil melaju ke tingkat Mabes Polri.
Festival Mural Bhayangkara 2021 ini jadi yang pertama, berlangsung secara berjenjang di tingkat polda dan Jabodetabek. Pemenang dari 34 polda seluruh Indonesia dikirim untuk diseleksi lagi di tingkat Mabes Polri.
Dari 803 karya yang dikirimkan pendaftar lomba, diseleksi secara ketat hingga diperoleh 154 karya mural yang akan dikurasi oleh dewan juri.
Sebanyak lima dewan juri mengkurasi 154 karya yang sudah diseleksi tingkat pertama. Hingga akhirnya terpilih 80 karya, di mana 10 di antaranya merupakan slot untuk karya dengan subtema kritikan kepada Polri.
Sejatinya festival mural ini awalnya mengangkat tema "Peran Generasi Muda untuk Berkreasi dalam Menyampaikan Informasi yang Positif di Masa Pandemi COVID-19".
Namun, di pertengahan jalan Kapolri mengeluarkan kebijakan baru bahwa festival ini boleh membuat karya berisi kritikan positif maupun negatif terhadap Polri.
Alhasil, pendaftar yang tadinya cuma 18 orang pada pekan ketiga, langsung melonjak naik di pekan keempat, dengan angka pengirim karya 803 peserta.
Kegiatan ini bukan soal juara, bukan berapa hadiah yang akan dikantongi oleh pemenang, seperti dua sisi mata uang, Bhayangkara Mural Festival 2021 Piala Kapolri, memperlihatkan azas simbiosis mutualisme.
Seniman yang haus akan wadah untuk berekspresi setelah digulung pandemi COVID-19 selama setahun delapan bulan, kini bisa kembali merasakan berinteraksi, berkumpul bersama berkompetisi dalam satu tujuan berkesenian dan berkreasi.
Begitu pun Polri, di tengah sorotan publik dengan sentimen negatif, membuka ruang berkreasi menyampaikan aspirasi, jadi pembuktian bahwa Polri terbuka dengan kritik, dan menghormati hak untuk berekspresi.
"Jadi masyarakat bisa melihat bahwa antara pemural yang ada dengan pihak kepolisian tidak ada batasnya," tutur Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono.
Berawal dari kritik
Mural "404 : Not Found" dengan gambar wajah Presiden Joko Widodo yang muncul di Batuceper, Tangerang, Agustus lalu, disebut jadi latar belakang munculnya ide Bhayangkara Mural Festival 2021.
Kala itu, aparat kepolisian memperkarakan pembuat mural tersebut, hingga menimbulkan polemik, berbagai tanggapan publik, yang "ending"-nya pemerintah dinilai antikritik.
Riuh komentar masyarakat dengan sikap kepolisian, pada akhirnya Polres Tanggerang tidak melanjutkan perkara mural satire tersebut, karena tidak ada unsur pidana.
Namun belakang, mural "404 : Not Found" bersama mural satire lainnya, seperti "Dipaksa sehat di Negara yang sakit" dan "wabah sesungguhnya adalah kelaparan" dihapus oleh aparat.
Dengan penuh keterbukaan, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo saat membuka Bhayangkara Mural Festivel 2021, Sabtu kemarin, menyampaikan bahwa kebebasan menyampaikan aspirasi diatur oleh undang-undang.
Sebagaimana tertera dalam Pasal 28 UUD 1945 menyatakan "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Polri, kata Sigit, sebagaimana merujuk pada undang-undang tersebut, juga mendukung Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum.
Kondisi saat ini menempatkan Polri untuk menghormati aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat, kondisi berbeda kala era sebelum reformasi.
Tetapi, Sigit mengingatkan, kebebasan menyampaikan aspirasi tak boleh kebablasan. Ada hal-hal yang tetap dihormati, terlebih berkaitan dengan bagaimana hak-hak atas orang lain tetap diperhatikan.
Sigit pun menyadari, di era keterbukaan informasi (4.0), kebebasan menyampaikan pendapat memasuki ranah dunia maya, sehingga penyampaian aspirasi tak lagi terbendung bak tsunami, apakah ekspresi positif atau negatif, sehingga banyak menanggapi ekspresi tersebut dengan beragam persepsi.
Pada hari itu juga, Sigit menegaskan bahwa institusi yang dipimpinnya menghormati kebebasan berekspresi. Sebagaimana disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia adalah negara yang sangat demokratis dan sangat menghargai kebebasan berekspresi.
Polri pun memegang teguh aturan-aturan yang ada, sesuai arahan Presiden terkait dengan kebebasan berekspresi. "Tentunya hari ini adalah bukti bahwa kami menghormati kebebasan ekspresi," ujar Sigit.
Sigit pun menegaskan mural dengan kritik paling pedas pun akan diterima, bahkan dijamin jadi sahabat/teman Kapolri.
Tidak hanya kritikan terhadap Polri, festival mural ini juga jadi sarana Polri untuk mendapatkan umpan balik, mengetahui pendapat dan harapan masyarakat terhadap penanganan COVID-19 di Indonesia
Di sisi lain, kritikan positif dan negatif yang dituangkan dalam mural menjadi motivasi buat Polri, menjadi bagian untuk Polri introspeksi, untuk berubah agar bisa jadi lebih baik sesuai dengan harapan masyarakat.
Melalui mural ini, Polri mengharapkan dapat gambaran bagaimana persepsi masyarakat tentang Polri. Sehingga setiap hari Polri bisa membenahi institusi dan personelnya menjadi lebih baik, menjadi Polri yang dipercaya publik, Polri yang dicintai masyarakat.
.
Bhayangkara Mural Festival 2021 di gelar di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Sabtu (30/10/2021). ANTARA/Laily Rahmawaty
Polisi "ber-budoyo"
Dosen Desain Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta Dr Sumbo Tinarbuko dalam video konferensi dengan Kapolri, Sabtu, menilai Bhayangkara Festival Mural 2021 sebagai fenomena di mana Polri masuk dalam konteks Polri "berbudoyo" (berbudaya).
Polri kata dia, hendaknya memahami komunikasi publik dari sisi tata visual, di dalam ilmu seni rupa di sebut kemampuan komunikator di ruang publik, menggunakan bahasa rupa, digabungkan dengan bahasa berupa pesan verbal atau syair, yang sering disalahpahami orang melihat sebagai bentuk kritikan yang menyudutkan, padahal sejatinya mural itu adalah fenomena sombolik yang harus dipahami secara merdeka yang bertanggungj awab, yakni tidak hanya dipahami satu sisi.
Pada kesempatan itu, Sumbo menyarankan Polri dalam pergerakannya yang akan ke depan dapat memasukkan konteks Polri yang 'budoyo', tidak cukup hanya humanis.
Selain, Polisi perlu belajar lebih dalam lagi tentang komunikasi publik dan semiotika visual (ilmu tanda-red), melihat tanda-tanda dalam konteks komunikasi publik, sehingga nantinya polisi melihat mural menjadi karya komunikasi yang jangan di-framing menjadi karya "miss communication".
"Sebagai pemerhati ruang publik dan kolomnis, saya menyampaikan penghargaan kepada Kapolri, khusus kapolda mulai memasukkan unsur kepolisian yang 'budoyo' (berbudaya) tidak hanya kepolisian yang humanis," tutur Sumbo.
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021