Ratna Sari merupakan salah satu dari enam mahasiswa dari kawasan timur Indonesia yang menjadi peserta program "Study of US Institute" (SUSI) untuk belajar pluralisme agama di Amerika Serikat (AS), 10 Januari-12 Februari 2011.
Mahasiswa lainnya adalah Nur Fajrin dan Salwa Amaliyah (IAIN Sunan Ampel Surabaya), Nurul Ichsani dan Safrin La Batu (Universitas Hasanudin, Makassar), dan Shuresj Tomaluweng (Universitas Kristen Indonesia Maluku/UKIM).
Namun, mahasiswi Fisip Unej angkatan tahun 2004 itu bersyukur ketika benar-benar menginjakkan kaki di negara yang dipimpin Barack Obama itu.
"Alhamdulillah, kekhawatiran saya tentang anti-Muslim di AS itu tidak terbukti. Saya banyak belajar tentang demokrasi, agama, dan kehidupan sosial," tuturnya.
Selama berinteraksi dengan warga Amerika dari berbagai agama itu, ungkapnya, ternyata pluralisme itu bukan hanya menerima perbedaan.
"Pluralisme bukan hanya itu, tapi pluralisme adalah keinginan dari lubuk hati yang dalam untuk saling mengenal dan menghargai mereka yang berbeda agama," tandasnya.
Pengakuan senada juga dikemukakan Shuresj Tomaluweng dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) yang bersama rekan-rekannya sempat berkeliling ke New York, Washington, Florida, dan Philadelphia.
"Sebelumnya, saya mengenal Amerika dari film dan media massa, tapi di Amerika, saya benar-benar mengetahui kemajemukan rakyat Amerika, baik etnis, agama, maupun ideologi politik," tegasnya.
Ia menyatakan bahwa dirinya sempat berkeliling ke masjid, gereja, dan sinagog, bahkan dirinya sempat kaget adanya komunitas (Agama) Bahai.
"Semuanya ada dan pemerintah menjamin kebebasan semuanya. Kami menjadi paham bahwa pluralisme bukan soal kemajemukan atau perbedaan, tapi pada cara kita menerima orang lain melalui berbagi dan dialog," katanya menjelaskan.
Ada juga hal yang mengesankan dirinya yakni ketika Presiden Obama meminta semua orang berdoa sesuai agamanya untuk kesembuhan anggota legislator AS yang sakit.
"Saya membayangkan kearifan lokal seperti di Maluku bisa dikembangkan untuk manajemen pluralisme agama. Untuk menyatukan keragaman di Maluku ada kearifan lokal, seperti di Maluku ada `pela gandong` yang merupakan kultur untuk mengintegrasikan masyarakat dari 2-3 kampung," katanya.
Pengalaman serupa juga diungkap mahasiswi Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Salwa Amaliah.
"Dari sana (AS), saya menjadi tahu kekurangan kita adalah kelompok mayoritas itu merasa menang dan berkuasa, sehingga hanya ada pikiran sempit dan sering menyalahkan," tegasnya.
Menurut mahasiswi jurusan Pendidikan Matematika itu, masyarakat Amerika mempunyai toleransi yang tinggi dan pemerintahnya mampu mengelola keragaman yang ada secara baik.
"Saya sempat gamang ketika berkunjung ke gereja, tapi setelah masuk justru saya merasa damai, karena kebersamaan itu benar-benar ada. Mereka sangat `wellcome`, mereka menyiapkan kami tempat shalat di satu sudut gereja," paparnya.
Dalam dialog anak-anak muda, baik mereka yang pernah ke Amerika maupun mereka yang sering berinteraksi dengan lembaga keagamaan itu, mahasiswa ITS beragama Hindu, Intan, menilai, Amerika sudah tertata dalam sistem, sedangkan Indonesia masih banyak perbedaan sosial.
"Awalnya, saya tidak percaya, tapi saya akhirnya mengalami sendiri saat mengurus kolom agama dalam KTP (kartu tanda/identitas penduduk). Jadi, masih ada diskriminasi dalam agama di sini," ujarnya.
Menurut dia, Indonesia berbeda dengan Amerika, karena Amerika sudah tertata sistemnya. "Kalau Indonesia masih ada masyarakat yang fanatis, karena sistem belum berjalan," tukasnya.
Menanggapi semua pengalaman anak-anak muda yang sudah ke Amerika dan pendapat anak-anak muda yang belum ke Amerika itu, Konsul Jenderal AS di Surabaya Kristen F Bauer menyatakan senang.
"Saya menangkap pesan bahwa mereka membenci kekerasan dan mendukung toleransi, karena itu saya mengajak mereka untuk mengembangkan proses dialog secara terus menerus," ujarnya. (E011/Z002/K004)
Oleh Oleh Edy M. Ya`kub
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011