Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mendukung penguatan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dia menjelaskan, selain korban tindak terorisme, hak kompensasi dan restitusi (ganti kerugian dari pelaku) juga bisa didapat korban tindak Pelanggaran HAM Berat (PHB), sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Namun realisasi kompensasi PHB sampai saat ini masih belum bisa dirasakan oleh masyarakat. Karenanya, perlu adanya penguatan wewenang terhadap LPSK dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31/2014," kata Bambang Soesatyo usai menerima pimpinan LPSK, di Jakarta, Senin.
Dia mengatakan, penguatan yang dilakukan menurut LPSK antara lain terkait penghargaan, perlindungan dan perlakuan khusus bagi saksi pelaku atau justice collaborator, dan pelaksanaan pembayaran restitusi.
Selain itu menurut dia diperlukan regulasi di tingkat pemerintah yang dapat segera memungkinkan pemenuhan hak kompensasi bagi korban PHB.
Baca juga: LPSK sambut baik putusan MA mencabut PP Nomor 99 Tahun 2012
Baca juga: LPSK ke Distrik Kiwirok lindungi 8 nakes korban penyerangan KKB
Baca juga: LPSK minta korban kekerasan seksual berani bersuara
Dia mengapresiasi kinerja LPSK dalam menyelesaikan pembayaran kompensasi bagi korban terorisme sejak peristiwa Bom Bali 2002.
Menurut dia, sebagai implementasi Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, korban tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi.
Dia mencontohkan, pada 16 Desember 2020, LPSK telah menyelesaikan kompensasi sebesar Rp39,2 miliar untuk 215 korban terorisme.
"Kompensasi untuk korban yang meninggal dunia akibat terorisme mencapai Rp250 juta, korban luka berat Rp210 juta, luka sedang Rp115 juta, dan luka ringan Rp75 juta. Kompensasi telah diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada keluarga/korban terorisme," ujarnya.
Bamsoet menilai LPSK juga telah berhasil memperjuangkan restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) seperti kepada korban TPPO kasus ABK Long Xing 629, dengan nilai restitusi mencapai Rp176.500.000.
Namun menurut dia, implementasi restitusi TPPO juga masih mengalami berbagai hambatan, karena Pasal 50 ayat 4 UU No.21/2007 tentang TPPO mengatur jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun.
"Aturan ini menurut LPSK masih terlalu ringan sehingga banyak pelaku yang lebih memilih dikenai tambahan pidana kurungan dari pada harus membayar restitusi. Karenanya perlu adanya revisi terhadap UU TPPO," katanya.
Dia menilai restitusi yang wajib dibayarkan oleh pelaku/terdakwa, merupakan salah satu wujud dari pemulihan/keadilan untuk korban.
Menurut dia, restitusi merupakan penanda bergesernya orientasi Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari yang berorientasi pelaku menjadi berorientasi ke korban. Agar hal tersebut dapat direalisasikan, LPSK menyarankan perlunya dilakukan perbaikan regulasi terkait restitusi antara lain perlunya segera dibuat aturan pelaksanaan tentang penyitaan dan pelelangan harta pelaku-terpidana untuk pembayaran restitusi.
Selain itu menurut dia adalah disegerakannya penyelesaian penyusunan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Restitusi sebagaimana diamanatkan PP No. 07/2018.
Pimpinan LPSK yang hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Ketua Hasto Atmojo Suroyo, dan para Wakil Ketua Brigjen Pol (Purn) Achmadi, Antonius PS Wibowo, Edwin Partogi Pasaribu, dan Livia Istania Iskandar.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021