• Beranda
  • Berita
  • Kekerdilan masih ancam kualitas pemimpin masa depan bangsa

Kekerdilan masih ancam kualitas pemimpin masa depan bangsa

7 November 2021 16:49 WIB
Kekerdilan masih ancam kualitas pemimpin masa depan bangsa
Potret seorang ibu bersama anak yang sedang memeriksakan kesehatan di salah satu rumah sakit yang ada di Batam pada Selasa (2/11/2021). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Permasalahan anak yang terlahir dalam keadaan kerdil (stunting) masih menjadi ancaman yang membelenggu bangsa untuk bisa mencapai generasi emas pada Tahun 2024.

Pasalnya, stunting mampu merusak kualitas pemimpin bangsa masa depan karena membuat tubuh anak menjadi lebih pendek dengan tingkat kecerdasan yang di bawah rata-rata.

Anak yang stunting itu dapat dikenali dengan ukuran panjang tubuh tidak sampai 48 sentimeter dan berat badannya tidak sampai 2,5 kilogram, akibat anak kekurangan asupan nutrisi, khususnya sejak anak berada dalam kandungan hingga 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Di Indonesia sendiri pun, kondisinya sungguh masih sangat memprihatinkan. Angka prevalensi stunting yang dimiliki, bahkan masih berada pada kisaran 27,67 persen di Tahun 2019, jauh dari angka yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang berada di bawah 20 persen.

Keadaan menyedihkan ini semakin menampak, setelah data milik Bank Dunia menyebutkan angkatan kerja Indonesia pada masa bayinya 54 persen mengalami stunting. Itu berarti, 54 persen angkatan yang bekerja merupakan penyintas stunting.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluaga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo juga ikut menyebutkan, di antara lima juta kelahiran di Indonesia, 1,2 juta bayi lahir dalam kondisi stunting.

"Anak lahir normal saja, itu masih ada bakat jadi stunting. Makanya penting untuk beri anak ASI sampai usia dua tahun dan gizi itu diberikan yang seimbang," katanya.

Dengan berat hati Hasto harus mengakui bahwa kekerdilan ini akan terus menghantui, selama pemahaman pemberian asupan gizi yang salah, juga tradisi masyarakat yang terus menggaung-gaungkan pre wedding masih dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Memang benar apa kata Hasto, masyarakat zaman ini lebih memilih memberikan makanan cepat saji atau makanan mahal, seperti daging pada anak tanpa melihat keseimbangan asupan zat gizi di dalamnya.

Persepsi yang salah, akhirnya membentuk pola fikir masyarakat jika memiliki hidup miskin tak dapat memberikan makanan yang layak pada anak, karena tidak bisa membeli makanan yang mahal.

Akibatnya meski anak makan dalam porsi yang besar, kandungan yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan gizi sehingga membuat sel-sel dalam tubuh anak menjadi kelaparan.

Nyatanya untuk dapat memenuhi gizi anak, dapat diberikan melalui makanan murah, seperti telur dan ikan. Hasto berkata, ikan dan telur lebih banyak memiliki kandungan zat DHA dan omega-3.

“Banyak orang punya persepsi dia makan yang mahal daging sapi, banyak pesta-pesta juga merasa bangga, merasa bergengsi kalau pakai daging. Padahal dia tidak banyak mengandung DHA, omega-3. Lebih banyak lele atau ikan kembung yang murah,” ucap Hasto.

Sama seperti pre wedding misalnya. Masyarakat lebih suka menghabiskan uang puluhan juta rupiah dibandingkan melakukan pemeriksaan pada para ibu dan calon ibu yang hanya seharga Rp50.000.

Tak adanya perhatian lebih pada kesehatan ibu, menyebabkan data Riskesdas 2018 menuturkan lebih dari 40 persen ibu terkena anemia. Hal inilah yang menjadi cikal bakal anak stunting lahir selain kurangnya asupan gizi yang cukup.

Terungkapnya data-data itu, akhirnya menggerakkan hati pemerintah untuk menuntaskan stunting dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang percepatan penurunan stunting dengan target angka prevalensi menjadi 14 persen pada Tahun 2024.
 

Dimulai dari Batam

Untuk mencapai target nasional yang ditetapkan dalam peraturan tersebut, Hasto bersama pihaknya mulai melakukan pemantauan stunting di berbagai daerah, salah satunya seperti di Kota Batam, Kepulauan Riau.

Kota Batam memang memiliki sekitar 1,2 juta penduduk di dalamnya, namun angka prevalensi stunting di daerah itu sangat jauh di bawah rata-rata angka dalam skala nasional, yakni 6,02 persen, sedangkan angka stunting di Kepulauan Riau mencapai 16,8 persen.

Hanya tinggal sedikit lagi, kota itu dianggap bisa menjadi salah satu kota zero stunting karena angka prevalensinya yang kecil.

“Saya optimis bisa tercapai karena stunting di daerah ini paling rendah nomor dua di Indonesia,” kata Hasto.

“Daya optimis Kepulauan Riau, khususnya Kota Batam, diharapkan dapat menjadi percontohan stunting di Indonesia. Saya kira ini akan terwujud dengan baik,” ujar dia.

Demi mewujudkan zero stunting yang dimulai dari Kota Batam, di tengah derasnya hujan, Hasto mengunjungi beberapa desa, sekaligus menjalin hubungan pentahelix dengan perguruan tinggi, yakni Universitas Batam, dan 26 universitas lainnya untuk dapat mengawal keluarga yang memiliki potensi stunting.

Upaya itu, mendapatkan sambutan luar biasa dari mahasiswa maupun masyarakat Kota Batam karena semua pihak mendoakan hal yang sama agar semua anak menjadi lebih sehat dan bebas dari stunting.

Dukungan tersebut kemudian membuat BKKBN berhasil meresmikan 28 kelurahan yang ada di Batam sebagai kelurahan bebas stunting binaan perguruan tinggi sekaligus membentuk 545 tim pendamping yang tersebar di 64 kelurahan.
 

Ikhtiar pemerintah

Memang benar kalau banyak upaya sudah mulai dilakukan di Kota Batam, namun secara nasional, pihaknya turut melakukan banyak hal lain untuk terus memperbaiki gizi baik pada ibu maupun bayi.

Selain membuat Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021, BKKBN beberapa upaya yang berhasil dilakukan adalah menyusun Pendataan Keluarga Tahun 2021 (PK21) yang dapat membantu memetakan wilayah dengan angka stunting yang tinggi pada Kamis (4/11).

Hasto mengaku telah melakukan banyak cara baik melalui forum ataupun gawai untuk menyusun data-data itu menjadi lengkap dan terjangkau oleh banyak keluarga di Indonesia.

“Melalui data yang terkumpul, saya harap pemerintah daerah dapat segera memetakan permasalahan yang ada di daerah masing-masing yang berkaitan dengan keluarga dan kesehatan keluarga, khususnya dalam pencegahan stunting,” tegas Hasto.

Pemerintah juga terus berikhtiar memperbaiki asupan gizi yang baik bagi ibu hamil yang ada di Kampung Keluarga Berkualitas melalui Dapur Sehat Atasi Stunting (Dashat).

Pangan lokal dimanfaatkan untuk diolah dalam dapur itu untuk memenuhi kebutuhan ibu hamil dengan harga yang terjangkau juga mengembangkan desa setempat.

Bahkan Hasto juga mengupayakan berbagai cara untuk dapat meningkatkan edukasi masyarakat tentang pentingnya ibu memberikan jarak kehamilan pada anak melalui sosialisasi dan penyediaan alat kontrasepsi di rumah sakit.

Sosialisasi dilakukan dengan tidak hanya menjalin hubungan pentahelix dengan perguruan tinggi, tetapi juga kementerian, lembaga, bahkan kedutaan sejumlah negara lain yang memiliki permasalahan sama.

Ia berharap segala tekad yang dilakukan dari hulu hingga hilir, dapat membawa berkah bagi bangsa, khususnya menjaga putra-putri terbaik bangsa untuk tumbuh dengan sehat.

Pada akhirnya, stunting mampu merusak kualitas sumber daya manusia bangsa di masa depan. Oleh sebab itulah, stunting perlu menjadi fokus kita bersama yang harus segera diselesaikan melalui pemberian gizi yang baik dan seimbang pada anak-anak.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021