Habitat gajah liar terancam habis itu antara lain terdapat di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) wilayah Pasar Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara, kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bengkulu Amon Zamora, Kamis.
Kawasan HPT menjadi habitat gajah liar itu sekarang kondisinya diapit perusahaan perkebunan besar yaitu PT Agricinal, sebelah Utara kebun PT Alno perusahaan asing dan sebelah Selatan adalah pemukiman warga Desa Sukamerindu setempat.
Sedangkan arah Baratnya adalah HPT Lebong Kandis calon hutan koredor, saat ini sebagian besar sudah dirambah sekitar 500 kepala keluarga.
Habitat gajah liar itu selain HPT Pasar Seblat juga kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG) yang luasnya sekitar 6.800 hektare, sedangkan kawasan perkebunan itu merupakan wilayah cari makan 25 tahunan.
Apabila dua kawasan HPT dan PLG Seblat tidak dibuat hutan koredor ke kawasan hutan Taman Nasional Krinci Seblat (TKNS), dikhawatirkan beberapa tahun ke depan akan terjadi konflik gajah dan manusia.
"Kami sudah mengusulkan peningkatan status hutan PLG dari hutan produksi khusus menjadi hutan suaka alam (konservasi) dan kawasan hutan koredor," tandasnya.
Kawasan hutan diusulkan untuk ditingkatkan statusnya itu luasnya seluruhnya mencapai 18.503 hektare, terdiri dari kawasan PLG 6.800 hektare dan sisanya hutan koredor ke TNKS, ujarnya.
Kabag Tata Usaha BKSDA Supartono mengatakan, kawasan habitat gajah Sumatra itu untuk dipertahankan dilindungi undang-undang, jika hal ini dibiarkan berlarut maka beberapa tahun kedepan hewan langka tersebut akan punah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, tengah diupayakan menyatukan kawasan HPT Lebong Kandis menjadi bagian dari PLG Seblat, di samping perlu adanya peningkatan statusnya menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dengan fungsi Suaka Margasatwa.
Tidak hanya itu, kata dia, BKSDA telah mengusulkan perluasan kawasan PLG Seblat ke Kementerian Kehutanan dari 6.800 hektare menjadi sekitar 18.305 hekatre akan dijadikan jalur jelajah satwa dilindungi itu lebih luas.
"Mestinya satu ekor gajah membutuhkan areal jelajah sekitar 400 hektare, bila jumlah gajah di daerah tersebut 80 ekor maka lahan dibutuhkan minimal 32 ribu hektare," tambahnya.
Habitat gajah makin terdesak itu akibat perambahan liar dan perluasan perkebunan besar swasta, sehingga tingkat konflik antara manusia dan gajah terus meningkat.
Ia menjelaskan, konflik antara gajah dan manusia pada 2007 hingga 2009 sebanyak 21 kasus setiap tahun, sedangkan kerugian akibat konflik tersebut diperkirakan mencapai Rp500 juta lebih per tahun, yaitu berupa kerusakan pondok dan tanaman sawit, karet atau perkebunan warga lainnya.
(Z005)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011