Pekan lalu kelompok militan menewaskan 28 tentara dan empat warga sipil.
Serangan pada Minggu (14/11) merupakan yang terparah yang dialami oleh pasukan selama pemberontakan empat tahun. Dalam kurun waktu itu, ribuan orang tewas dan lebih dari satu juta warga terpaksa meninggalkan rumah mereka. Serangan dua hari sebelumnya di daerah tersebut menewaskan tujuh polisi.
"Kita mengirim saudara-saudara kita, anak-anak kita, paman-paman kita ke tempat pembantaian. Berapa banyak janda dan anak-anak yang berada di Burkina? Siapa yang akan merawatnya?" kata pengunjuk rasa bernama Hermann Tassembedo.
Sekitar 300 orang melakukan aksi turun ke jalan di pusat kota Ouagadougou. Massa mendesak presiden Kabore untuk mundur dan menuntut supaya pasukan Prancis yang berpatroli di negara Afrika Barat itu angkat kaki.
Banyak pihak yang menganggap pasukan Eropa di Burkina Faso dan negara-negara tetangga, Mali dan Niger, sebagai penangkal kilat terhadap serangan. Burkina Faso selama bertahun-tahun terhindar dari serangan ekstremis yang terlihat di seberang perbatasan di Mali.
Mantan presiden Burkina Faso Blaise Compaore menjaga hubungan baik dengan para ekstremis di kawasan tersebut, namun ia dilengserkan dari jabatannya pada 2014 dan negara itu menjadi sasaran. Saat ini, mayoritas wilayah utara dan timur dikuasai oleh kelompok bersenjata.
"Kami cuma meminta Kabore mundur," kata salah satu penyelenggara unjuk rasa, Mohamed Komsongo. "Ia telah memperlihatkan ketidakmampuannya sejak berkuasa. Ia gagal menjaga keamanan. Terlalu banyak menanggung korban meninggal."
Sumber: Reuters
Baca juga: Serangan milisi di Burkina Faso tewaskan 12 tentara
Baca juga: Korban tewas serangan terparah Burkina Faso naik menjadi 132
Kodam XII Tanjungpura berangkatkan 850 personel ke Afrika Tengah
Pewarta: Asri Mayang Sari
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021