"Prinsipnya untuk semua kasus. Artinya, KY mengawasi seluruh proses peradilan soal pertanahan ini sesuai dengan komitmen pemerintah memberantas mafia tanah," kata Juru Bicara KY, Miko Susanto Ginting kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Oleh karena itu, KY memastikan akan bekerja sesuai tugas dan kewenangannya dalam menjaga kode etik serta pedoman perilaku hakim dalam menangani kasus-kasus tersebut.
Nantinya, KY akan memantau setiap persidangan kasus dugaan mafia tanah serta mengamati putusan perkara. Tujuannya yakni untuk menjaga kemandirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, kata Miko.
Di kesempatan berbeda, Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (Untar) Prof Amad Sudiro mengingatkan lembaga peradilan dalam hal ini hakim dan panitera termasuk pihak yang potensial terlibat mafia peradilan. Untuk itu, KY harus secara aktif memantau persidangan kasus-kasus pertanahan.
Ia mengamati mafia tanah secara terstruktur dan sistematis melakukan berbagai akrobat untuk menguasai hak atas tanah dengan berbagai modus. Misalnya pemalsuan dokumen, mencari legalitas di pengadilan, pendudukan ilegal/tanpa hak (wilde occupatie), rekayasa perkara.
Termasuk pula kolusi dengan oknum aparat untuk mendapatkan legalitas, kejahatan korporasi misalnya penggelapan dan penipuan, pemalsuan kuasa pengurusan hak atas tanah, serta hilangnya warkat tanah.
"Jangan sampai mafia tanah bekerja sama dengan oknum pengadilan untuk merampas hak-hak atas tanah yang bukan menjadi miliknya dengan menggunakan instrumen hukum putusan pengadilan," ujar dia mengingatkan.
Senada dengan itu, Dekan Universitas Islam Riau, M Musa mengingatkan modus operandi dan rekayasa yang tersistem dari para oknum yakni "menciptakan" legalitas formal kepemilikan.
"Ini menjadi persoalan mendasar terhadap kesejatian hak-hak tanah dari rakyat menjadi terabaikan," kata dia.
Untuk itu, KY dituntut jeli menilai secara integral suatu persoalan kasus pertanahan yang diadili. Sebab, jangan sampai KY hanya menilai realitas sikap prosedural dan perilaku formal hakim dalam proses menegakkan hukum.
Akan tetapi harus lebih cerdas memahami kausalitas persoalan yang disidangkan sehingga keterselubungan permainan dalam mengadili kasus tanah bisa terungkap.
Sementara itu, Pakar Hukum dari Universitas Al-Azhar, Supardi Ahmad mengatakan Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil semestinya tidak bisa mengeluarkan kebijakan apa pun yang menetapkan kepemilikan tanah ketika ada pihak yang bersengketa atas tanah tersebut.
Situasi ini juga diingatkan agar tidak terjadi dalam sengketa tanah antara PT Salve dengan Abdul Halim di Cakung, Jakarta Timur.
"Pada dasarnya, jika tanah dalam sengketa maka dalam keadaan status quo. Artinya, tidak ada perbuatan hukum baru," kata Suparji.
Suparji juga menyoroti putusan praperadilan terhadap mantan Kepala Kanwil BPN DKI yakni Jaya sebagai tersangka kasus korupsi terkait sertifikat tanah yang dinilai merugikan negara mencapai Rp1,4 triliun.
Penetapan tersangka terhadap Jaya dan Abdul Halim (nama yang tertera di sertifikat) dianggap hakim tidak sah. Untuk itu, Jaya bersama Abdul Halim berhak mendapatkan pemulihan nama baiknya.
"Putusan praperadilan penetapan tersangka yang dikabulkan adalah memulihkan martabat yang bersangkutan tidak berada dalam status tersangka," kata dia.
Baca juga: Jaksa Agung instruksikan jajaran berantas mafia tanah dan pelabuhan
Baca juga: DPD minta pemberantasan mafia tanah harus jadi prioritas penegak hukum
Baca juga: Lima orang jadi tersangka mafia tanah terkait laporan Nirina Zubir
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2021