• Beranda
  • Berita
  • Emiten farmasi Phapros bidik potensi pengembangan obat herbal

Emiten farmasi Phapros bidik potensi pengembangan obat herbal

19 November 2021 07:22 WIB
Emiten farmasi Phapros bidik potensi pengembangan obat herbal
Phapros Tbk meraih penghargaan Good Performance untuk Kategori Business Excellence Achievement pada ajang BUMN Performance Excellence Awards 2021 (ANTARA/HO-Phapros)
Emiten farmasi yang juga anak usaha PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PT Phapros Tbk, membidik potensi pengembangan obat herbal di Indonesia, mengingat sebagai negara yang berada di tengah garis khatulistiwa, berbagai jenis tanaman obat tumbuh subur di Tanah Air.

Direktur Utama Phapros Hadi Kardoko menyatakan berdasarkan data dari LIPI pada 2020, Indonesia merupakan negara dengan megabiodiversitas terbesar keempat di dunia yang memiliki lebih dari 29.000 jenis tanaman, di mana 2.484 diantaranya adalah tanaman obat.

"Potensi pengembangan obat herbal di Indonesia didukung dengan perilaku masyarakat kita yang sebagian besar lebih memilih pengobatan secara tradisional dengan memanfaatkan bahan-bahan yang bisa diperoleh di alam sekitar daripada menggunakan obat kimia," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Kekayaan alam yang dimiliki Indonesia itu juga sudah dimanfaatkan industri farmasi untuk membuat obat herbal fitofarmaka atau yang kini juga dikenal dengan sebutan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI), yakni obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik (pada hewan percobaan) dan uji klinik (pada manusia), bahan baku dan produk jadinya sudah distandarisasi.

Phapros adalah satu perusahaan yang sudah memanfaatkan obat bahan alam tersebut. Emiten berkode saham PEHA tersebut memiliki dua dari 23 produk obat herbal fitofarmaka yang memiliki izin edar dari BPOM RI.

Hadi menambahkan, pengembangan obat herbal fitofarmaka masih sangat sedikit di Indonesia. Hal itu tak lepas dari berbagai tantangan yang ada. Beberapa tantangan tersebut diantaranya adalah sumber daya alam tumbuhan yang belum dikelola secara optimal, biaya riset yang besar dan proses riset yang lama, dan harga jual produk herbal yang seringkali lebih mahal dari produk kimia.

"Namun, seiring dengan adanya Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan dan dibentuknya satgas Percepatan Pengembangan dan Peningkatan Pemanfaatan Jamu dan Fitofarmaka oleh BPOM, hal ini diharapkan nantinya pengembangan obat fitofarmaka di Indonesia bisa kian terarah dan dapat dilakukan secara masif," kata Hadi.


Baca juga: Phapros implementasikan strategi pergeseran portofolio produk

Baca juga: Phapros optimistis kinerja tahun ini membaik melalui strategi adaptif

Baca juga: Emiten farmasi dorong kinerja produk terkait COVID-19

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2021