Peneliti Senior Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Prof Achmad Syawqie berpendapat, pemerintah sebagai pembuat kebijakan perlu melihat penyebab utama di balik tingginya prevalensi perokok di Indonesia.
"Permintaan masyarakat tumbuh karena berbagai latar belakang, mulai dari kebudayaan, kebutuhan atau untuk mendapatkan ketenangan di sela tekanan pekerjaan dan atau kerumitan lainya, juga sejumlah latar belakang lain,” ujar Syawqie seperti dikutip, Sabtu.
Syawqie mengakui jalan terbaik untuk memutus rantai bahaya akibat merokok adalah dengan tidak memulai menggunakannya sama sekali atau sepenuhnya berhenti bagi yang sudah menggunakannya.
Namun, berhenti merokok bukanlah hal mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan setiap aspek dan latar belakang konsumsi tembakau dalam menentukan strategi dan kebijakan yang dianggap tepat guna mengurangi prevalensi merokok dan dampak bahayanya.
Baca juga: Tiga pertimbangan dalam menekan prevalensi perokok
"Dalam hal inilah pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak seperti ilmuan atau peneliti, konsumen, serta budayawan,” ujarnya.
Syawqie menjelaskan, dari sisi budaya, pemerintah perlu berdiskusi mengenai nilai dan posisi tembakau dalam ritual kebudayaan, kemudian meneliti kemungkinan apakah tembakau bisa tidak lagi diikutkan dalam ritual kebudayaan, atau setidaknya menggantinya dalam bentuk yang lebih aman.
Dari sisi konsumen, pemerintah perlu memahami bagaimana pola konsumsi, apa yang dibutuhkan dari konsumsi tersebut, serta melihat potensi dan cara untuk berhenti secara langsung.
Hal itu juga termasuk penelitian terkait produk alternatif atau cara konsumsi lain guna memenuhi kebutuhan konsumen, namun dengan risiko yang lebih kecil.
“Dalam hal inilah para peneliti dilibatkan dan didengarkan. Jadi, semua perlu bekerja sama, bahu membahu dan saling mendengar dalam menuntaskan masalah ini, tidak bisa hanya satu pihak atau tiap pihak bekerja sendiri-sendiri,” jelasnya.
Terkait keterlibatan peneliti, menurut Syawqie, pemerintah diharapkan mau membuka diri untuk mengkaji sejumlah penelitian yang sudah dilakukan di dalam maupun luar negeri. Misalnya, penelitian perbedaan efek rokok versus rokok elektrik terhadap masalah mulut dan gusi yang dilakukan dr. Amaliya atau penelitian Peter Hajek dan rekannya terkait efektivitas rokok elektrik versus produk terapi pengganti nikotin (NRT).
Jika penelitian tersebut dirasa belum cukup, pemerintah bisa mendukung peneliti dalam negeri untuk melakukan kerja sama penelitian serupa atau penelitian duplikasi untuk memperkuat hasil kajian yang sudah ada.
Selain itu, bisa juga dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel dan aspek berbeda dengan tujuan yang sama, yakni mencari alternatif yang lebih rendah risiko, serta membuktikan potensi dan efektivitasnya.
"Produk-produk tembakau alternatif yang ada saat ini memang belum sepenuhnya bisa mengeliminasi efek buruk konsumsi tembakau, tapi kalau memang teruji secara ilmiah lebih rendah risikonya dibandingkan terus merokok, kenapa tidak?," kata dia.
"Konsumen berhak mendapatkan berbagai pilihan produk, terutama jika ada produk yang risiko penggunaannya bisa semakin kecil. Dan ini butuh dukungan yang kuat dari pemerintah sambil kita melanjutkan penelitian mencari produk yang lebih baik lagi,” pungkasnya.
Baca juga: Produk alternatif 50 persen efektif kurangi kecanduan nikotin
Baca juga: Produk alternatif dinilai bisa turunkan pravalensi perokok
Baca juga: Kiat hilangkan bau rokok
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021