• Beranda
  • Berita
  • Transisi energi dan memulihkan keseimbangan lingkungan hidup

Transisi energi dan memulihkan keseimbangan lingkungan hidup

26 November 2021 19:09 WIB
Transisi energi dan memulihkan keseimbangan lingkungan hidup
Bambang Soesatyo . ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.
Persiapan menuju transisi pemanfaatan energi bersih akan menjadi sangat ideal jika disertai dorongan kepada semua orang untuk semakin peduli dan segera berbuat nyata memulihkan keseimbangan lingkungan hidup.

Ketika transisi ke pemanfaatan energi bersih masih butuh proses waktu yang relatif lama, upaya memulihkan keseimbangan lingkungan hidup kini terasa sangat mendesak.

Sebab, nyata bahwa ketidakseimbangan lingkungan hidup telah menghadirkan dampak yang tak jarang dirasakan sangat ekstrem.

Kesadaran komunitas global akan dampak ekstrem akibat ketidakseimbangan lingkungan hidup atau perubahan iklim bisa dilihat dan dibaca dari semangat yang mengemuka sepanjang Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, baru-baru ini.

Walaupun hasil atau kesepakatan COP26 belum bisa memuaskan semua pihak karena dinilai kurang agresif, Pakta Iklim Glasgow atau Glasgow Climate Pact 2021 setidaknya lebih maju.

Layak dikatakan lebih maju karena beberapa rencana aksi bersama disepakati untuk segera direalisasikan. Utamanya, kesepakatan menghentikan penggunaan energi fosil, serta kesepakatan untuk segera bersiap menuju transisi pemanfaatan energi bersih.

Kesepakatan strategis lainnya adalah menghentikan deforestasi dan berupaya melakukan pemulihan hutan di Tahun 2030. Penghentian deforestasi disepakati 141 negara yang memiliki areal hutan 90,94 persen dari total hutan dunia.

Pakta Iklim Glasgow juga menyepakati penghentian penggunaan batu bara sebagai salah satu sumber utama emisi CO2. Kesepakatan ini melibatkan lebih dari 40 negara.

Selain itu, lebih dari 100 negara, termasuk Amerika Serikat dan Uni Eropa, sepakat mengurangi emisi gas rumah kaca ini pada Tahun 2030

Pakta Iklim Glasgow 2021 merupakan tindak lanjut dari kesepakatan COP21 di Paris, Prancis, pada Desember 2015. Kesepakatan Paris (Paris Agreement) melibatkan 196 negara.

Paling utama dari Kesepakatan Paris adalah menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat Celsius. Kesepapakatan itu juga mendorong semua negara berupaya menjaga kenaikan temperatur global pada level 1,5 derajat Celsius.

Tak kurang dari 197 negara, termasuk Indonesia, menyepakati Pakta Iklim Glasgow itu. Rencana aksi pemerintah Indonesia menindaklanjuti kesepakatan Glasgow 2021 sudah diumumkan Presiden Joko Widodo.

Indonesia mulai melakukan persiapan untuk proses transisi penggunaan energi bersih dan menghentikan penggunaan energi fosil.

Rencana aksi Indonesia itu ditandai dengan pengarahan Presiden kepada pimpinan dan manajamen PT Pertamina serta PT PLN di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (16/11).

Presiden mendorong kedua BUMN itu untuk segera menyiapkan rencana transisi energi dari energi fosil menuju energi hijau atau energi bersih, karena penggunaan energi fosil, seperti minyak bumi dan batubara, akan dihentikan.

Transisi ke pemanfaatan energi bersih adalah kerja yang relatif kompleks, sehingga butuh waktu untuk berproses. Negara harus menjadi pioner dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendorong semua orang, semua sektor industri dan pelaku bisnis untuk beradaptasi dengan perubahan.

Misalnya, ketika penggunaan energi bersih sebagai unsur penggerak kendaraan listrik. Dalam konteks seperti itu, peran dominan negara tak terhindarkan.

Sambil menunggu peta jalan atau proses menuju transisi ke energi bersih yang disusun pemerintah, semua komunitas – secara tidak langsung -- kini pun sedang didorong untuk peduli pada urgensi memulihkan keseimbangan lingkungan hidup di daerahnya masing-masing, baik daerah perkotaan maupun desa.

Patut diakui bersama, dan tak perlu diperdebatkan lagi, bahwa ketidakseimbangan lingkungan hidup sudah menghadirkan ekses atau dampak yang dirasakan sangat ekstrem.

Dalam pekan-pekan terakhir ini, rangkaian fakta tentang dampak ekstrem akibat ketidakseimbangan lingkungan hidup itu terlihat nyata di berbagai wilayah, baik kota maupun desa.

Musibah banjir terjadi dimana-mana. Dari kota Jakarta, Malang, Medan hingga beberapa kabupaten dan Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Barat tergenang akibat hujan deras.

Musibah yang sama terjadi juga pada sejumlah desa di Jawa Barat, Jawa Tengah hingga Aceh Timur dan tiga desa di Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Genangan air di Sintang, Kalimantan Barat, berlangsung selama empat pekan dengan tinggi air sekitar 100-300 cm. Kota Batu di Jawa Timur, porak poranda akibat terjangan banjir Bandang.

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah terjadi sedikitnya 2.203 bencana alam di dalam 10 bulan terakhir, terhitung sejak 1 Januari 2021 hingga 30 Oktober 2021.

Rinciannya, 891 musibah banjir, 587 musibah puting beliung dan 406 musibah tanah longsor. Rangkaian musibah ini menyebabkan 6,63 juta orang menderita dan mengungsi, 13.031 orang luka-luka, 549 orang meninggal dunia dan 74 orang hilang. Tak kurang dari 134.587 rumah mengalami kerusakan.

Sudah sejak lama para ahli mengemukakan bahwa musibah banjir dan tanah longsor lebih disebabkan oleh faktor kerusakan atau ketidakseimbangan lingkungan hidup.

Dalam beberapa dekade terakhir, faktor ulah manusia merusak keseimbangan lingkungan hidup lebih dominan dibanding faktor alam, seperti letusan gunung api, gempa bumi hingga tsunami.

Sudah sangat lama manusia berperilaku tidak ramah pada lingkungan, tercermin dari kegiatan penebangan, penggundulan dan pembakaran hutan, pemanfaatan lahan yang serampangan hingga kebiasaan membuang sampah ke sungai.

Daratan Pulau Kalimantan yang di masa lalu sarat hutan tak pernah mengalami musibah banjir. Namun, setidaknya dalam dua tahun terakhir, beberapa wilayah di Kalimantan langsung tergenang akibat hujan deras.

Hampir sebulan penuh wilayah Sintang tergenang. Musibah di Sintang memberi gambaran betapa parahnya kerusakan pada semua area tangkapan hujan di Pulau Kalimantan. Area hutan di Kalimantan sudah tak mampu lagi menampung air hujan akibat penebangan pohon dan pembakaran hutan.

Rangkaian musibah banjir dan tanah longsor yang terjadi di banyak daerah akhir-akhir ini hendaknya mendorong semua komunitas untuk semakin peduli pada kemauan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Caranya sederhana. Berhenti melakukan penebangan pohon secara tidak terencana. Jangan ada lagi pembakaran atau penggundulan hutan dan tidak boleh lagi membuang sampah di sungai. Setiap komunitas pun hendaknya mulai bergiat melakukan reboisasi.

Semua pemerintah daerah (pemda) diharapkan mulai peduli pada upaya memulihkan keseimbangan lingkungan hidup. Pemda bersama masyarakat menjaga dan melindungi hutan dari aksi penebangan liar dan pembakaran.

Program reboisasai, seperti penanaman sejuta pohon patut dilanjutkan dengan melibatkan semua komunitas di daerahnya masing-masing. Pemda pun harus berani memastikan sungai bersih dari sampah. Siapa saja yang membuang sampah ke sungai harus diberi sanksi yang berat.

Harus tumbuh kepedulian dari setiap pemda untuk mengajak dan mendorong semua komunitas semakin ramah pada alam dan lingkungan hidupnya masing-masing. Ketidakseimbangan lingkungan hidup harus segera dipulihkan untuk menghindari musibah.

*) Bambang Soesatyo adalah Ketua MPR RI,
kandidat doktor ilmu hukum di UNPAD dan dosen di Universitas Terbuka

Pewarta: Bambang Soesatyo *)
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021