Jika FDA mengizinkan obat tersebut, hal itu akan menjadi pengobatan di rumah pertama terhadap virus yang sudah hampir dua tahun menimbulkan pandemi.
Pemberian izin itu mungkin akan terbatas pada pasien yang berisiko tinggi mengalami sakit parah. Populasi yang diizinkan mengonsumsi pil itu akan ditentukan oleh badan tersebut.
Merck menerbitkan data minggu lalu yang menunjukkan bahwa obat itu secara signifikan kurang efektif daripada yang diperkirakan sebelumnya. Obat itu membantu mengurangi rawat inap dan kematian dalam uji klinis individu berisiko tinggi sekitar 30 persen.
“COVID-19 masih dalam keadaan darurat,” kata anggota komite Dr. David Hardy, yang memilih "ya" dalam pemungutan suara.
"Ada kebutuhan untuk hal seperti ini. Ini adalah kesempatan pertama bahwa obat oral rawat jalan untuk orang dengan gejala ringan hingga sedang akan tersedia, meskipun saya mempertanyakan tentang kemanjuran jangka panjangnya secara keseluruhan."
Pemungutan suara itu dilakukan saat kekhawatiran tentang varian baru Omicron telah mengguncang pasar keuangan dan memicu kekhawatiran atas kekuatan pemulihan ekonomi global ketika dunia terus berjuang melawan pandemi virus corona.
Baca juga: Pemerintah AS akan beli molnupiravir senilai 1 miliar dolar
Terapi obat oral Merck yang disebut molnupiravir, dikembangkan dengan Ridgeback Biotherapeutics, menyasar bagian-bagian virus yang tidak diubah oleh mutasi pada varian Omicron. Bagian-bagian virus itu bisa menjadi lebih digdaya jika kekebalan yang dihasilkan vaksin dan yang alami terancam oleh varian itu.
Obat pesaing yang sedang dikembangkan oleh Pfizer Inc, yang disebut Paxlovid, sangat menjanjikan, setelah menunjukkan pengurangan 89 persen rawat inap dan kematian dalam uji klinisnya. FDA kemungkinan akan mempertimbangkan obat itu dalam beberapa bulan ke depan.
Komite Penasihat Obat Antimikroba FDA menghasilkan suara 13-10 dalam merekomendasikan badan itu mengizinkan obat tersebut setelah membahas kekhawatiran bahwa obat itu dapat menyebabkan virus bermutasi serta masalah keamanan tentang potensi cacat lahir.
Baik ilmuwan staf FDA maupun Merck menyarankan agar obat itu tidak direkomendasikan untuk mereka yang hamil.
Sumber: Reuters
Baca juga: Obat COVID-19 Pfizer diklaim pangkas risiko hingga 89 persen
Baca juga: AstraZeneca tawarkan 6 bulan kemanjuran obat COVID-19
Pemerintah jajaki 3 jenis obat COVID-19 baru
Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2021