Perkiraan tersebut adalah dampak ganda dari pandemi COVID-19 dan kudeta militer yang mengancam kemajuan yang telah dibuat Myanmar dalam dekade terakhir.
Berdasarkan survei terhadap 1.200 rumah tangga, UNDP menyatakan Myanmar akan kembali ke tingkat kemiskinan yang tidak terlihat sejak 2005, sebelum reformasi demokrasi dimulai.
"Terjerumusnya (Myanmar) ke dalam kemiskinan dalam skala ini bisa berarti hilangnya kelas menengah (yang merupakan) pertanda buruk bagi pemulihan cepat dari krisis," kata Direktur UNDP untuk Asia Pasifik Kanni Wignaraja dalam sebuah pernyataan.
Dalam skenario terburuk, PBB memperkirakan jumlah orang Myanmar yang hidup di bawah garis kemiskinan dapat berlipat ganda menjadi 46,3 persen dari 24,8 persen, sementara kemiskinan perkotaan diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat pada 2022 menjadi 37,2 persen dibandingkan 11,3 persen pada 2019.
Setengah dari responden survei di daerah perkotaan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki sisa tabungan, sementara sekitar sepertiga responden melaporkan telah menjual sepeda motor, yang seringkali merupakan alat transportasi utama keluarga.
Ada "tren peningkatan yang jelas dari rumah tangga yang makan lebih sedikit" dan meningkatnya angka putus sekolah.
Kota-kota besar seperti Yangon dan Mandalay, yang dulunya merupakan rumah bagi kelas menengah yang sedang tumbuh, telah mengalami gangguan terhadap usaha dan sektor kecil, mulai dari konstruksi dan perhotelan hingga ritel dan tekstil dan menyebabkan hilangnya pekerjaan dan pengurangan upah, kata UNDP.
Pada Oktober, menteri investasi yang ditunjuk junta Myanmar mengatakan kepada Reuters bahwa otoritas militer mencoba yang terbaik untuk menghidupkan kembali ekonomi, dan menyalahkan "sabotase ekonomi" yang didukung asing atas krisis tersebut.
Jika tidak ada tindakan yang diambil, Wignaraja memperingatkan dampak krisis bagi generasi mendatang.
"Anda kehilangan satu generasi bukan hanya karena perang, Anda kehilangan satu generasi karena gangguan dan kecacatan yang berasal dari kekurangan makanan, gizi buruk, kemiskinan ekstrem," kata dia kepada Reuters.
Bank Dunia, yang sebelum kudeta memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di Myanmar meskipun di tengah pandemi COVID-19, sekarang memperkirakan ekonomi negara itu akan berkontraksi lebih dari 18 persen tahun ini.
Kampanye Myanmar melawan penyakit itu kandas bersama dengan sistem kesehatan lainnya setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih, yang telah berupaya meningkatkan pengujian, karantina, dan perawatan.
Layanan di rumah sakit umum runtuh setelah banyak dokter dan perawat bergabung dalam pemogokan dalam gerakan pembangkangan sipil di garis depan oposisi terhadap kekuasaan militer.
Lebih dari 1.200 orang telah dibunuh oleh pasukan junta, kata sebuah kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, dan protes telah berkembang menjadi pemberontakan bersenjata, yang memicu kekacauan di seluruh negeri.
Sumber: Reuters
Baca juga: UN Women minta suara perempuan didengar dalam konflik politik Myanmar
Baca juga: Ancaman militer, kudeta bayangi pembukaan parlemen Myanmar
Baca juga: Pemberontak Myanmar bebaskan warga India yang disandera
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2021