"Inklusif harus dipahami bahwa ada kesetaraan, berarti tidak ada perbedaan kesempatan. Orang dengan disabilitas pun bisa bersekolah di sekolah umum, bukan dimarjinalisasi, jadi harus sekolah di sekolah khusus," kata Harry dalam webinar untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional.
"Yang terjadi sekarang justru langkah kebijakan yang dilakukan cenderung memarjinalisasi teman-teman disabilitas," katanya dalam webinar yang diikuti dari Jakarta, Kamis.
Harry mengemukakan bahwa sekolah umum sebaiknya menyiapkan guru yang memahami kebutuhan siswa dengan disabilitas serta fasilitas pendukung pendidikan siswa difabel.
Di samping itu, ia mengatakan, keluarga juga perlu mendorong anak difabel menjalani pendidikan di sekolah umum jika memungkinkan.
Ia mengatakan bahwa saat ini masih banyak anak dengan disabilitas yang belum ditangani dengan baik serta belum bisa mengakses fasilitas pelayanan pendidikan.
"Banyak anak dengan disabilitas yang ditelantarkan. Sudah disabilitas, tidak diurus, tidak diasuh, malah ditempatkan di rumahnya, dan bahkan dipasung," katanya.
Menurut dia, masih ada orang tua yang menganggap anak dengan disabilitas sebagai aib dan menyembunyikan keberadaan mereka. Kondisi yang demikian membuat petugas pemerintah kesulitan melakukan pendataan.
"Tentu yang menjadi tantangan kita itu keterbatasan informasi, pengetahuan, dan keterampilan orang tua dalam memberikan pengasuhan kepada anak. Kalau ini tidak cukup memadai, maka perkembangannya menjadi berbeda dengan yang kita harapkan," katanya.
Baca juga:
63 siswa difabel lolos SBMPTN 2021
Pendidikan inklusif bagi anak penyandang disabilitas terkendala
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2021