"Angka kasus bayi berat badan rendah masih sangat tinggi di NTB," ujarnya di sela-sela meninjau fasilitas kesehatan RSUD Provinsi NTB di Mataram, Sabtu.
Muhadjir menyebutkan, sampai dengan September 2021 dari data 518 angka kelahiran di NTB, sebanyak 112 bayi dinyatakan meninggal dunia.
"Angka yang sangat tinggi," katanya.
Selain tingginya kasus kematian bayi dengan berat badan rendah, NTB, kata Muhadjir, juga masih menghadapi tingginya kasus stunting.
"Angka stunting di NTB ini juga cukup banyak," ujarnya.
Menurutnya, tingginya kasus kematian bayi dengan berat badan rendah di NTB, salah satunya disebabkan adanya perkawinan anak dan perkawinan di bawah umur.
"Karena perkawinan di bawah umur, sehingga ini menyebabkan ibunya belum siap untuk mengandung dan banyak melahirkan bayi yang tidak memenuhi syarat, terutama berat badan yang rendah," ucap Muhadjir.
Menyikapi hal tersebut, Muhadjir meminta perhatian Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB untuk segera melakukan upaya-upaya secara komprehensif dan menyeluruh agar kasus-kasus semacam itu bisa ditekan.
"Saya minta perhatian Pemprov NTB. Di sini ada Wakil Gubernur NTB, direktur rumah sakit, agar penanganan kelahiran bayi dilakukan secara komprehensif, menyeluruh, mulai dari upaya pencegahan, melakukan kampanye bayi lahir sehat dan mencegah bayi lahir tidak sehat," katanya.
Selain upaya komprehensif dari pemerintah daerah, Muhadjir juga mendorong agar rumah sakit juga melakukan penanganan secara serius. Karena, dirinya melihat fasilitas rumah sakit di NTB sudah cukup lengkap melakukan penanganan seperti itu.
"Penanganan di rumah sakit itu bagaimana bayi bisa selamat, karena bagaimanapun kita menyelamatkan nyawa dari seorang cabang bayi. Yang mana bayi itu merupakan titipan dari Tuhan," katanya.
"Di sini kan juga ada pola asuh anak. Di mana itu khusus melayani keluarga atau ibu-ibu yang anaknya menderita stunting. Jadi di sini dirawat, dipantau perkembangannya dari hari ke hari. Kalau berat badannya belum normal diantar sampai normal. Kalau besar tempurung kepalanya atau masih belum standar, ya didorong agar bisa dibantu sehingga perkembangan otak si bayi betul-betul menjadi bayi yang normal. Jadi setiap bayi yang stunting itu dirawat, dijaga dengan berbagai macam intervensi, terutama kehadiran nutrisi, sehingga bayi betul-betul keluar dari jebakan stunting," katanya.
Oleh karena itu, lanjut Muhadjir, sistem yang sudah bagus itu (rumah sakit) harus tetap dirawat, meski sifatnya masih protipe atau model diharapkan bisa direplikasi di rumah sakit lain dan puskesmas di NTB.
"Dan kalau ini berhasil, bisa kami pertimbangkan dipakai secara nasional. Karena itu saya optimistis pada 2024 angka stunting di NTB bisa di bawah 14 persen sesuai dengan yang ditargetkan Presiden Jokowi," katanya.
Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur NTB Hj Sitti Rohmi Djalilah tak menampik angka stunting di NTB masih cukup tinggi. Namun demikian, menurutnya, dalam tiga tahun terakhir tren angka stunting di daerah itu sudah cukup bagus penurunannya.
"Angka stunting kita dari sebelumnya 33 persen sekarang sudah 20,66 persen. Itu sudah cukup bagus. Tinggal bagaimana pekerjaan rumah (PR) kita 2022 dan seterusnya ini terus turun angkanya," katanya.
Menurut Wagub NTB, untuk menekan angka stunting terus turun, maka tidak ada cara lain penanganan stunting harus seirama dan tersistem, mulai dari pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten dan kota, hingga tingkat dusun harus sama-sama terlibat, termasuk yang perlu juga ditekankan bagaimana standar pelayanan rumah sakit dan puskesmas hingga posyandu juga harus sama, sehingga tidak bisa provinsi bekerja sendirian tanpa ada dukungan dari kabupaten dan kota.
"Itulah mengapa kami kemudian melakukan program revitalisasi posyandu yang saat ini sudah mencapai 100 persen. Salah satunya untuk bisa memberikan edukasi sehingga para ibu tahu kondisi anaknya dan harus dibawa kemana anaknya. Karena penanganan stunting ini kalau terlambat ya menyebabkan kematian bayi. Tapi yang jelas meski ini akan jadi PR, kami optimistis angka stunting terus turun," katanya.
Pewarta: Nur Imansyah
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021