Seperti pada pertengahan November 2021, dua bocah perempuan, kakak (7) dan adik (5) dari Kota Padang, Sumatera Barat, dicabuli dan diperkosa oleh para anggota keluarganya sendiri.
Pelaku adalah kakek, paman, kakak kandung, kakak tiri, sepupu hingga tetangga korban.
Tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar menilai perlu adanya pemberatan pidana terhadap para pelaku pemerkosaan terhadap dua anak yang menjadi korban. Hal ini mengingat peran sentral pelaku yang seharusnya memberikan rasa aman kepada korban.
Keluarga seharusnya memberikan pengasuhan, pengayoman dan perlindungan pada anak.
Namun dalam kasus ini, sosok keluarga malah menjadi 'predator' yang melakukan kekerasan seksual terhadap dua anak kecil tak berdaya.
Kasus lainnya terkait kekerasan seksual terhadap anak terjadi di Jawa Timur.
Kasus tersebut menimpa HN (13), seorang siswi sekolah dasar di Kota Malang, Jawa Timur. HN diperkosa oleh Y yang masih remaja 18 tahun di rumah Y.
Usai terjadi pemerkosaan, istri pelaku mengetahui keberadaan korban di rumahnya. Istri pelaku berang sehingga bersama teman-temannya membawa korban ke lahan kosong dan menganiaya korban.
Korban dalam dua tahun terakhir diketahui tinggal di salah satu pondok pesantren dan panti asuhan yatim dan dhuafa yang dititipkan oleh ibu kandungnya.
Korban yang masih duduk di bangku kelas VI SD ini merupakan anak tunggal dari ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tinggal di Sidoarjo.
Kemudian di Bandung Barat, Jawa Barat, remaja berinisial DND (17) ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pembunuhan AR, anak perempuan 10 tahun, yang merupakan tetangga DND.
Sebelum membunuh, DND memerkosa AR terlebih dulu.
Nahar mengatakan dari hasil pemeriksaan polisi, tersangka DND kecanduan pornografi.
Nahar menegaskan peningkatan upaya pencegahan dan pengawasan perlindungan terhadap anak sangat penting dilakukan semua pihak karena pornografi sangat berbahaya bagi pertumbuhan anak, baik secara mental maupun perkembangan otak anak.
Menurutnya, apabila anak secara terus-menerus "mengonsumsi" pornografi, maka anak akan mengalami adiksi atau kecanduan. Adiksi ini merupakan suatu hal yang dapat mengganggu jalannya kehidupan yang normal, baik dalam cara berpikir, kepercayaan diri dan mental anak.
Kecanduan pornografi juga sangat membahayakan anak-anak lainnya yang menempatkan mereka pada kondisi rentan berupa perkosaan, bahkan menjadi korban pembunuhan.
Kekerasan saat pandemi
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Nahar menyebut kasus kekerasan terhadap anak trennya naik selama pandemi COVID-19.
Total kasus kekerasan anak dari Januari sampai dengan Oktober 2021 sebanyak 11.149 kasus. Sementara di Tahun 2020 sebanyak 11.278 kasus dan di Tahun 2019 sebanyak 11.057 kasus.
Kasus kekerasan seksual anak menempati urutan tertinggi setiap tahunnya, mulai dari 6.454 kasus di Tahun 2019, kemudian Tahun 2020 sebanyak 6.980 kasus dan pada Tahun 2021 tercatat ada 6.615 kasus hingga Oktober 2021.
Sementara Direktur Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta Anindya Restuviani mengatakan jumlah kekerasan berbasis gender meningkat selama masa pandemi COVID-19.
Angka tersebut berdasarkan laporan yang diluncurkan oleh Canada Fund for Local Initiatives (CFLI) Indonesia.
Menurut Restuviani, sepertiga dari responden mengklaim mereka lebih sering mengalami kekerasan saat pandemi COVID-19.
Hasil survei tersebut senada dengan laporan tahunan nasional yang dirilis oleh Komnas Perempuan dan LBH APIK Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa laporan tersebut juga menunjukkan kekerasan berbasis gender secara daring meningkat pesat selama pandemi COVID-19.
Kekerasan berbasis gender tersebut lebih sering terjadi di lingkungan rumah dan dilakukan oleh anggota keluarga lain.
RUU TPKS
Organisasi kemanusiaan Wahana Visi Indonesia mencatat hanya tujuh kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang Oktober 2020 hingga Juni 2021 yang diproses hukum.
Analis Kebijakan Publik Wahana Visi Indonesia Lia Anggiasih menyatakan hanya tujuh kasus yang ternyata dilakukan proses hukum dari 73 kasus yang dicatat oleh lembaga itu
Menurut Lia, payung hukum untuk menindak kejahatan kekerasan seksual saat ini masih lemah.
Oleh karena itu, Wahana Visi Indonesia mendorong agar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual segera dapat disahkan oleh DPR.
Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengatakan Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus melalui proses politik yang panjang di DPR sebelum dapat disahkan.
Christina Aryani menambahkan proses di DPR saat ini masih dalam tahap penyempurnaan dari narasi pasal-pasal RUU TPKS.
Dia menyadari banyak pihak yang menginginkan RUU TPKS segera disahkan, namun dia meminta publik untuk bersabar menunggu proses yang berjalan.
Melindungi anak-anak dari kekerasan seksual merupakan pekerjaan rumah bagi semua pihak. Keluarga diminta untuk waspada terhadap potensi terjadinya kekerasan seksual di lingkungannya. Anak-anak juga harus mengerti tindakan yang harus dilakukan saat dirinya terancam menjadi korban kekerasan seksual. Tentunya pemerintah memiliki peran besar agar payung hukum untuk menghukum pelaku kekerasan seksual segera disahkan.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021