Menurut survei tersebut, delapan dari sepuluh pasar di dunia menyatakan belanja online lebih mudah daripada berbelanja di toko tradisional, di mana Indonesia memiliki persentase tertinggi (73 persen) di antara 25 negara yang disurvei.
Survei yang melibatkan 25 negara itu menemukan bahwa masyarakat di beberapa negara merasa berbelanja online lebih sulit dibandingkan di toko tradisional atau offline, antara lain di Afrika Selatan (59% persen), Kenya (60 persen) dan Nigeria (65 persen).
"Tentu COVID-19 mempengaruhi semua hal dan mendorong munculnya banyak sinyal perubahan, seperti konsumerisme dan pilihan merek konsumen, isu perubahan iklim dan lingkungan, serta banyak isu lainya yang terangkum dalam laporan Global Trends 2021: Aftershocks and continuity," kata Soeprapto Tan, Managing Director Ipsos in Indonesia dalam siaran pers, Senin.
Baca juga: BNI hadirkan ragam "bonus" untuk pengguna kartu kredit BNI JD.ID
Baca juga: Lima tips sebelum belanja di kampanye 10.10
Soeprapto menjelaskan, perubahan yang terlihat dalam data tersebut cenderung didorong tren opini publik yang sudah berlangsung lama sebelum COVID-19 (macro forces).
"Yang mana macro forces tersebut mendorong adanya shifts atau pergeseran perilaku masyarakat yang diukur dalam banyak penelitian yang kita lakukan. Kemudian, dari pergeseran tersebut, kita melihat adanya sinyal-sinyal perubahan pada seluruh masyarakat. Ketiga hal tersebut mempengaruhi satu sama lain dan kita perlu untuk memahami perubahan pada setiap levelnya untuk secara efektif memahami bagaimana masa depan," kata dia.
Konsumerisme dan Pilihan Merek
Laporan Ipsos Global Trends 2021 yang melibatkan 24.000 responden dari 25 negara menemukan bahwa mayoritas konsumen dunia dapat menemukan penawaran lebih baik saat berbelanja online dibandingan di toko konvensional.
Misalnya di Indonesia yang menempati urutan ke-4 di antara negara tersurvei lainnya dengan presentase 83 persen. Konsumen Indonesia setuju bahwa mereka dapat menemukan penawaran lebih baik saat berbelanja online dibandingkan di toko.
Sebesar 81 persen konsumen di Indonesia mengaku percaya pada rekomendasi online dari aplikasi atu situs terkenal.
Selain itu, tujuh dari 10 responen dari 25 pasar di dunia setuju bahwa mereka cenderung membeli merek yang mencerminkan nilai pribadi mereka (70 persen). Hubungan ini paling kuat di Nigeria (91 persen), China (86 persen), Kenya & Filipina (keduanya 85 persen), dan Indonesia (81 persen), sementara orang Meksiko dan Denmark paling tidak setuju (masing-masing 51 persen).
Terkat pemilihan merek, mayoritas pasar di dunia masih belum banyak memilih merek lokal. Mereka berpendapat bahwa merek global memilik produk yang lebih unggul dibandingkan merek lokal negaranya, seperti di Nigeria (77 persen), Kenya (67 persen), India (62 persen), Thailand (58 persen), dan Singapura (55 persen).
Hal itu berbeda dengan pasar Indonesia di mana 59 persen konsumen tidak setuju bahwa merek global memiliki produk yang lebih baik daripada merek lokal. Data itu selaras dengan data survei yang sama bahwa 87 persen konsumen di Indonesia lebih cenderung untuk memilih membeli produk lokal dibandingkan produk global.
"Untuk pasar Indonesia, dari data hasil survei Ipsos Global Trends 2021 terlihat nyata bahwa belanja online dan pilihan merek lokal sangat menonjol dan peningkatanya sangat signifikan bila dibandingkankan sebelum pandemi," kata Soeprapto Tan.
"Selain karena faktor kemudahan penggunaan saluran belanja online, seperti aplikasi, situs, sosial media, dan lainnya, faktor kemudahan menemukan penawaran atau promo lebih banyak dan lebih baik menjadi salah satu pertimbangan konsumen lebih cenderung memilih belanja online dibandingkan di toko," kata Soeprapto.
"Dan untuk pilihan merek lokal, konsumen merasakan merek lokal Indonesia saat ini dapat bersaing bahkan dengan merek global. Untuk itu, saya melihat produk lokal dan belanja online masih akan tetap menjadi pilihan konsumen ke depannya," ujar Soeprapto.
Perubahan Iklim dan Lingkungan
Kekhawatiran tentang iklim diidentifikasi sebagai nilai global terkuat dalam survei Global Trends 2019 dengan tren terus menguat selama pandemi.
Mayoritas masyarakat Indonesia juga memiliki kesadaran yang tinggi mengenai pentingnya langkah nyata dalam hal lingkungan, termasuk lebih sedikit melakukan perjalanan (87 persen) guna menanggulagi perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Selain itu, pasar di negara berkembang juga melihat bahwa penanganan iklim adalah sebuah keharusan, di mana lebih dari 8 dari 10 orang Kolombia (82 persen) serta proporsi yang sama dari warga China dan Brasil (78 persen) mengatakan bahwa perusahaan yang memprioritaskan lingkungan lebih penting bagi mereka.
Kepercayaan pada sains
Meningkatnya kepercayaan pada sains menjadi tren jangka panjang di mana enam dari sepuluh responden global setuju bahwa semua masalah medis dapat disembuhkan (60 persen).
Baca juga: Daftar e-commerce dan program Harbolnas 11.11
Persentase itu meningkat sejak dimulainya rangkaian studi Global Trend pada tahun 2013 dan terus meningkat seiring dengan pengembangan vaksin selama pandemi.
Persentase itu lebih tinggi di negara berkembang, yakni 9 dari 10 orang Indonesia (90 persen), Thailand dan Filipina (84 persen dan 82 persen) setuju bahwa sains akan mengalahkan semua penyakit.
Pada 2020, kepercayaan masyarakat terhadap vaksin COVID-19 sempat mengalami penurunan di beberapa negara, namun mayoritas kembali menguat di China 22 persen, Peru & Chile masing-masing 7 persen, Brasil 4 persen, Indonesia 2 persen, dan India 1 persen.
Sedangkan negara lain seperti Italia (-4 persen), Inggris dan Australia (masing-masing -6 persen), dan Amerika Serikat (-12 persen) masih meragukan manfaat dari vaksin itu sendiri.
Media Sosial, Data, dan Teknologi
Pandemi mendorong akselerasi teknologi khususnya penyebaran internet di mana sebesar 80 persen warga Indonesia mengaku kesulitan jika tidak menggunakan internet. Dalam peringkat tersebut, Indonesia menduduki peringkat empat di dunia, mengungguli Inggris, Australia, Thailand, bahkan Amerika Serikat.
Kendati demikian, 84 persen publik di semua negara setuju bahwa perusahaan media sosial memiliki terlalu banyak kekuatan. Persepsi itu meningkat di hampir semua negara antara 2019 dan 2021, dengan peningkatan paling menonjol terjadi di China, Indonesia, dan Afrika Selatan.
Anggapan perusahaan media sosial memiliki terlalu banyak kekuatan di China meningkat dari 67 persen menjadi 83 persen. Di Indonesia, proposi tersebut meningkat dari 84 persen ke 97 persen, dan Afrika Selatan meningkat dari 75 persen ke 84 persen.
Sebaliknya, survei tersebut mencatat meningkatnya sikap apatis bahkan keterbukaan untuk berbagi data pribadi. Sebesar 84 responden mengakui bahwa kekuatan teknologi baru membuat batas privasi menjadi sulit dihindari.
Baca juga: Riset: Belanja di musim liburan beralih ke seluler
Baca juga: 10 tips belanja cerdas jelang Harbolnas
Baca juga: J&T Express cetak 16,5 juta pengiriman pada Harbolnas 11.11
Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2021