Menurut dia, penerjemahan itu penting karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi KUHP yang bersumber dari KUHP Belanda.
“Ini kedengarannya sederhana, tetapi amat sangat prinsip,“ kata Wamenkumham saat memberi pidato utama pada acara peluncuran Dokumen Terjemahan Beberapa Bagian Risalah Pembahasan KUHP Belanda dan KUHP Indonesia yang berlangsung secara virtual sebagaimana diikuti di Jakarta, Rabu.
Ia menjelaskan sejauh ini ada beberapa versi terjemahan yang dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Ahli Hukum Indonesia Prof. Moeljatno dan perwira kepolisian R Soesilo.
Baca juga: Hakim MK dorong finalisasi RUU KUHP
Namun, ada beberapa pasal yang terjemahannya berbeda cukup jauh antara satu dengan yang lain.
“Saya pernah melakukan perbandingan itu, sangat jelas terlihat karena tidak ada terjemahan resmi. Contoh yang selalu saya ambil Pasal 110 KUHP mengenai pemufakatan jahat, atau konspirasi terhadap makar, terhadap perbuatan pidana (yang diatur) pada Pasal 104, 107, 108 KUHP,” sebut Prof. Edward Omar Sharif yang populer dengan nama Eddy Hiariej.
Terjemahan dari Prof. Moeljatno menunjukkan ancaman pidana perbuatan itu maksimal adalah hukuman mati, sementara Soesilo menerjemahkan perbuatan itu dihukum maksimal 6 tahun penjara.
“Ini perbedaan yang amat sangat signifikan,” kata dia.
Tidak hanya itu, ia juga menyoroti pasal terkait pencurian, serta istilah “melawan hukum” dan “melawan hak” yang kerap diterjemahkan secara berbeda oleh para ahli hukum.
Oleh karena itu, Wamenkumham mengapresiasi upaya penerjemahan beberapa bagian Risalah Pembahasan KUHP Belanda dan KUHP Indonesia yang dibuat oleh Ahli Hukum Universitas Katolik Parahyangan Dr. Tristam Pascal Moeliono.
“Ini memberi sumbangan yang sangat besar bagi perkembangan hukum pidana, khususnya bagi kami yang sedang menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam konteks Rekodifikasi,” sebut Wamenkumham.
Dokumen terjemahan itu disunting oleh tim para ahli dan praktisi, yaitu Ahli Hukum Universitas Padjajaran Dr. Widati Wulandari, Ahli Hukum Universitas Padjajaran Dr. Nella Sumika Putri, Akademisi STH Jentera Anugerah Rizki Akbari, Peneliti Senior LeIP Arsil, dan Peneliti ICJR Iftitahsari.
Baca juga: Kemenkumham: RKUHP masih atur pidana ancaman hukuman mati
Baca juga: Pakar: Perlu segerakan revisi KUHP untuk akomodasi pidana alternatif
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021