..mustahil di dunia ini ada yang bebas dari cemaran. Bahkan kita bernafas pun ada cemaran yang masuk,
Ketua Umum Asosiasi Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin) Rachmat Hidayat mengatakan rencana peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait pelabelan risiko Bisphenol-A (BPA) akan menjadi pukulan bagi industri air minum dalam kemasan (AMDK).
"Kenapa? Karena kesan konsumen akan berubah, karena dalam kemasan ada Bisphenol-A atau suatu zat yang dapat menjadi cemaran. Padahal, tidak ada satupun kemasan yang tidak mengandung cemaran,” katanya melalui akun instagram @antaranewscom dalam acara Antara Ngobrol Bareng, Jakarta, Kamis.
Rencana tersebut telah digulirkan BPOM sejak awal tahun 2021 dan kembali berkembang beberapa waktu terakhir.
Dalam kemasan galon, kata Rachmat, biasanya menggunakan jenis plastik polikarbonat yang memiliki bahan baku utama BPA atau zat lainnya seperti etilen glikol dan acetaldehyde.
Setelah zat tersebut dijadikan kemasan, BPOM mengatur level maksimum yang merujuk Tolerable Daily Intake (TDI) atau ukuran dunia internasional tentang seberapa besar maksimum suatu bahan pencemaran dapat dikonsumsi oleh manusia setiap hari sepanjang hidupnya tanpa menimbulkan efek buruk terhadap kesehatan.
“Jadi itulah suatu kemasan. Saat ini polikarbonat sudah memenuhi setiap peraturan perundang-undangan keselamatan pangan yang dibuat oleh BPOM, ya berarti itu aman dan sama saja dengan kemasan mana pun,” ungkapnya.
Baca juga: Kemenkes: Air isi ulang dominasi konsumsi rumah tangga di Indonesia
Selain di sektor AMDK, cemaran disebut juga terdapat dalam makanan yang mengandung antara lain zat logam berat, merkuri, dan timah hitam. Tetapi, ada level maksimum yang diatur oleh pemerintah agar makanan tersebut memenuhi standar TDI sehingga tak berdampak buruk ketika dikonsumsi.
“Kenapa pemerintah mengizinkan? Karena mustahil di dunia ini ada yang bebas dari cemaran. Bahkan kita bernafas pun ada cemaran yang masuk,” ujar Rachmat.
Jika AMDK harus dilabel risiko BPA, dia menganggap seluruh produk pangan yang jumlahnya ratusan juga harus diberi label. Baginya, itu justru menimbulkan teror terhadap konsumen.
Lebih jauh, seandainya aturan ini terimplementasikan, maka dinilai akan memukul industri AMDK atau bahkan ekonomi nasional akan terpuruk. “Tidak ada satupun negara di dunia ini yang peraturannya mewajibkan melabeli kandungan cemaran dalam suatu pangan olahan,” sebut dia.
Sejak 2019, BPOM disebut telah menetapkan batas maksimum cemaran Indonesia di angka 0,6 bagian per juta (mg/kg) pada semua air minum kemasan. Selama pengujian, Rachmat menyatakan besaran cemaran AMDK tak mencapai sepersepuluh dari 0,6 bagian yang menandakan keamanan produk tersebut.
Sebagai pembanding, di Korea Selatan dan China memiliki batas maksimum cemaran sama seperti di Indonesia. Sementara, di Jepang mencapai 2,5 bagian per juta (mg/kg).
Baca juga: Tips aman konsumsi air minum dalam kemasan
Baca juga: Disinformasi Bisfenol A senyawa berbahaya dalam plastik kemasan
Baca juga: Kandungan BPA pada galon isi ulang berbahaya? Ini penjelasan BPOM
Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2021