Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan
Kementerian Perindustrian menyebutkan bahwa industri farmasi di Tanah Air siap menggunakan bahan baku obat (BBO) hasil produksi lima industri dalam negeri termasuk PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP).
"Industri farmasi formulasi siap menggunakan BBO hasil produksi dalam negeri dengan beberapa pertimbangan seperti keberlanjutan BBO, kesesuaian spesifikasi BBO, konsistensi BBO, kemudahan audit, waktu delivery, hingga harga yang bersaing," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam lewat keterangannya di Jakarta, Minggu.
Khayam menyampaikan KFSP telah mampu memproduksi sebanyak 11 jenis molekul BBO yang sudah komersial, di antaranya adalah Clopidogrel, Simvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin, Entecavir, Lamivudin, Zidovudin, Efavirenz, Tenofovir, Remdesivir, dan Povidone Iodine.
Sementara itu, 11 BBO lainnya tengah dalam penyempurnaan, antara lain Candesartan, Valsartan, Amlodipine, Glimepiride, Bisoprolol, RIfampisin, Parasetamol, Pantoprazol, Risperidone, Meloksikam, dan Telmisartan.
Sedangkan, industri BBO lainnya adalah PT Ferron Par Pharmaceutical yang memproduksi BBO Omeprazol Injection Grade, PT Riasima Abadi Farma yang memproduksi BBO Parasetamol, serta PT Kalbio Global Medika dan PT Daewoong Infion yang memproduksi BBO Eritropoietin.
Beberapa industri pun sudah mulai bergerak cepat melakukan trial terhadap BBO dari KFSP agar mereka segera dapat melakukan change source BBO dari impor menjadi lokal.
Langkah lainnya yang perlu dilakukan, yaitu prioritas pengembangan dan pendampingan penerapan peta jalan Making Indonesia 4.0 untuk industri farmasi, pengusulan skema insentif yang lebih baik untuk mendorong investasi di sektor farmasi dan pengembangan fasilitas produksi obat modern asli Indonesia (OMAI) di Balai Besar Kimia Kemasan (BBKK) Kemenperin.
Selain itu, penyiapan kawasan industri untuk sektor industri farmasi dalam rangka mendukung terbentuknya ekosistem produksi yang lebih baik.
Kemudian, telah diterbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Produk Farmasi. Melalui penerapan aturan ini, penghitungan TKDN produk farmasi tidak lagi memakai metode cost based, melainkan dengan metode processed based.
Penghitungan nilai TKDN produk farmasi yang berdasarkan pada processed based, dilakukan dengan pembobotan terhadap kandungan bahan baku active pharmaceuticals ingredients (API) sebesar 50 persen, untuk proses penelitian dan pengembangan sebesar 30 persen, proses produksi sebesar 15 persen, serta proses pengemasan sebesar 5 persen.
"Metode tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan industri BBO, serta meningkatkan riset dan pengembangan obat baru serta berkontribusi terhadap akselerasi program pengurangan angka impor untuk mendukung kemandirian obat," pungkas Khayam.
Baca juga: Kemenperin dorong pengembangan industri fitofarmaka
Baca juga: Kemenperin fokus kembangkan obat modern asli Indonesia
Baca juga: BPOM: Optimalkan penemuan dan pengembangan obat bahan alam Indonesia
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021