G20 bukan sekadar proyek, melainkan pertaruhan masa depan Indonesia.
Indonesia untuk pertama kalinya memimpin forum global beranggotakan negara-negara penyumbang 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia atau yang dikenal dengan G20 mulai 1 Desember 2021.
Keketuaan atau presidensi itu resmi diserahkan oleh Perdana Menteri Italia Mario Draghi kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma pada 31 Oktober 2021.
Dengan diterimanya Presidensi G20, Indonesia juga menggenggam kepercayaan dunia untuk menyukseskan sejumlah agenda, terutama terkait pemulihan global melalui berbagai upaya dan solusi yang konkret.
Presiden Jokowi menekankan agar Presidensi Indonesia di G20 tidak sebatas seremonial belaka, tetapi juga melakukan aksi nyata.
Untuk itu, Indonesia akan terus mendorong negara-negara di G20 menghasilkan terobosan-terobosan besar serta membangun kolaborasi dan menggalang kekuatan untuk memastikan masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kerja sama yang terjalin.
Baca juga: G20 ajang Indonesia tunjukan kapabilitas tangani COVID-19
"Kepercayaan ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia. Untuk membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil dan berkelanjutan, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” kata Jokowi.
Dengan mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia menekankan inklusivitas dalam Presidensi G20 agar dampak positif tidak hanya dirasakan oleh negara-negara anggota, tetapi juga negara berkembang lainnya.
Itikad itu tercermin dalam pelibatan negara kepulauan kecil dari Pasifik dan Karibia untuk pertama kalinya dalam sejarah Presidensi G20, di samping negara berkembang lain dari Afrika, ASEAN, dan Amerika Latin.
Negara-negara Karibia diwakili oleh ketua Caribbean Community (CARICOM) yang saat ini dipegang oleh Antigua dan Barbuda, sementara negara-negara Pasifik diwakili oleh ketua Pacific Islands Forum (PAF) yang saat ini dipegang oleh Fiji.
Dalam skala nasional, pemerintah pun menginginkan lebih banyak masyarakat yang merasakan manfaat dari Presidensi G20, terutama kelompok akar rumput.
Untuk itu, sejumlah sektor yang melekat dan berkembang di tengah masyarakat telah diidentifikasi untuk dibawa ke dalam agenda G20, seperti ekonomi digital, pemberdayaan perempuan dan UMKM.
Akan ada total 127 pertemuan dalam rangkaian agenda KTT G20 yang tidak hanya dipusatkan di Bali, tetapi juga diselenggarakan tersebar di sejumlah daerah agar lebih banyak masyarakat terlibat secara langsung.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian bekerja sama dengan Universitas Indonesia, Presidensi Indonesia di G20 akan membawa dampak jangka pendek, seperti penciptaan lapangan kerja untuk 33.000 orang di seluruh lokasi pertemuan, meningkatkan PDB nasional sebesar Rp7,43 triliun dan manfaat ekonomi lainnya 1,5 kali lipat dibandingkan IMF-World Bank Annual Meeting 2018 di Bali.
Baca juga: Kemenkes sebut perhelatan G20 menggunakan sistem "bubble"
Sementara itu, untuk jangka menengah dan panjang, keketuaan Indonesia di G20 akan memajukan sektor pariwisata serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu juga akan menampilkan perkembangan Indonesia di bidang infrastruktur, konektivitas, dan investasi asing; menarik minat investasi asing untuk pembangunan ekonomi hijau; dan menunjukkan kemajuan vaksinasi Indonesia yang akan meningkatkan kepercayaan global dalam penanganan pandemi.
Tiga Prioritas Utama
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebutkan tiga prioritas utama Indonesia selama keketuannya guna membingkai kerja G20 satu tahun ke depan, di antaranya membangun arsitektur kesehatan dunia yang lebih kuat, transisi energi, dan transformasi digital.
Kesehatan merupakan isu utama dalam memerangi pandemi yang kenyataannya belum berakhir. Para pemimpin negara-negara G20 bersepakat untuk melakukan vaksinasi 40 persen di akhir 2021 dan 70 persen di pertengahan 2022.
Penduduk yang sehat adalah fondasi awal pemulihan global dan di tengah pandemi ini, vaksinasi adalah salah satu jalan keluar dari krisis, baik krisis kesehatan maupun krisis ekonomi.
“Pandemi telah memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa jaminan kesehatan sangat penting,” kata Retno.
Sebagai pemimpin G20 saat ini, Indonesia bertekad untuk menyediakan akses pengadaan vaksin COVID-19 yang merata, terutama bagi negara-negara berkembang.
Karena itu, Presiden Jokowi dalam pernyataannya menekankan pentingnya penguatan arsitektur kesehatan global inklusif yang berpegang teguh pada prinsip solidaritas, keadilan, transparansi, dan kesetaraan.
Retno menyebutkan Presiden mengusulkan beberapa langkah, antara lain: pertama, membuat mekanisme penggalangan sumber daya kesehatan global; kedua, menyusun protokol kesehatan global untuk aktivitas lintas negara; ketiga, mengoptimalkan peran G20 dalam upaya mengatasi kelangkaan dan kesenjangan vaksin, obat-obatan, dan alat kesehatan esensial.
Kemudian isu transisi energi yang menjadi sorotan dan dinilai mendesak untuk segera diatasi sebab kelompok G20 bukan hanya penyumbang 80 persen PDB dunia, melainkan juga penyumbang angka yang sama untuk emisi gas rumah kaca seluruh dunia.
Baca juga: Kemenkes: Vaksinasi di Sorong masih perlu didorong guna perhelatan G20
Bahkan Retno menyebut terjadi perdebatan yang mendalam saat membahas mengenai target pengurangan emisi karbon dengan penetapan jadwal menuju net zero emission di KTT G20 di Roma, Italia.
Dalam KTT Iklim atau dikenal dengan COP26 di Glasgow, Inggris, Indonesia berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon itu pada 2060 atau bahkan lebih awal.
Guna mencapai target ambisius itu, pemerintah telah merumuskan peta jalan sesuai dengan Strategi Jangka Panjang untuk Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience/LTS-LCCR).
Isu ketiga, yakni transformasi digital yang menjadi keniscayaan dan sudah tertera dalam peta jalan Making Indonesia 4.0.
Indonesia berkesempatan menjadi pemimpin pertama Digital Economy Working Group (DEWG) setelah sebelumnya dielevasi dari status task force pada Presidensi Italia pada 2021.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, penyelenggaraan Presidensi G20 dapat mendorong agenda transformasi digital di Indonesia karena isu digital telah melekat erat di berbagai sektor.
"Kami melihat bahwa penyelenggaraan Presidensi G20 dapat mendorong agenda transformasi digital di Indonesia, antara lain mengadvokasi agenda dan kepentingan Indonesia termasuk mewujudkan fair level playing field antara negara maju dan berkembang," katanya.
Baca juga: Kesuksesan KTT G20 bakal buka peluang investasi dan pariwisata RI
Presidensi G20 juga akan memiliki manfaat bagi pelaku industri serta inovasi teknologi digital di Indonesia, yaitu sebagai melting pot bagi pelaku industri dan regulator lintas sektor untuk melakukan optimalisasi teknologi digital dan showcasing potensi, inovasi, dan kreativitas Indonesia dalam pemanfaatan teknologi digital.
Bahkan, peningkatan status Digital Economy Task Force (DETF) menjadi DEWG membuka peluang bagi Indonesia menjadi pemimpin pembahasan kebijakan ekonomi digital global.
Sementara itu, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah menilai Indonesia harus memiliki komunikasi yang cakap baik ke dalam maupun luar negeri guna mencapai tujuan G20.
Artinya, masing-masing kementerian/lembaga serta pemangku kepentingan yang terlibat harus bersinergi dan menerapkan transparansi birokrasi.
Selain itu, Indonesia harus bisa meyakinkan negara-negara anggota G20 melalui best practices-nya yang harus sudah dipetakan potensi masing-masing negara yang ingin digali dan dibagikan kepada dunia.
“G20 bukan sekadar proyek, melainkan pertaruhan masa depan Indonesia. Kalau komunikasinya tidak bagus, kita dinilai lalai. Jangan sampai kurangnya komunikasi membuat skor kita anjlok,” katanya.
Dia menambahkan untuk di dalam negeri sendiri, G20 sedianya melibatkan kalangan masyarakat hingga level bawah, termasuk anak-anak yang dijembatani oleh isu-isu yang diangkat, seperti lingkungan melalui penanaman mangrove, UMKM, dan lainnya.
“Upaya ini bisa dilakukan dengan menjadikan paling tidak ada satu kabupaten di setiap provinsi yang dijadikan acuan. Jangan sampai G20 ini hanya dirasakan dampaknya oleh kalangan elitis saja, kalangan masyarakat bawah, anak muda dan anak-anak tidak tahu,” ujarnya.
Baca juga: Bali bersolek siapkan diri jadi lokasi utama G20
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2021