Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) menyebut kian maraknya kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan dan institusi keagamaan menandakan makin tipisnya tempat aman bagi perempuan.Data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan untuk 2015-2020, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas
"Data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diadukan ke Komnas Perempuan untuk 2015-2020, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas. Termasuk kasus yang terungkap di beberapa lembaga negara dan aparat penegak hukum belakangan ini," kata Anggota APBGATI Kustiah dalam konferensi pers APBGATI-GNP-Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari hingga 9 Desember 2021, ada 7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 73,7 persennya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, terdapat 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 59,7 persen.
Pihaknya menambahkan bahwa kekerasan di tempat kerja pun mengkhawatirkan.
Hal ini merujuk pada survei organisasi buruh Trade Union Rights Centre (TURC) pada 2018 yang merilis kondisi pekerja Indonesia terkait dengan tindak kekerasan, pelecehan dan diskriminasi.
"56,5 persen buruh garmen perempuan pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk dan 93,6 persen dari korban tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme (pelaporan) di tempat kerja. Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50 persen buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil," kata dia.
APBGATI menyoroti kasus teranyar yakni kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru pesantren terhadap belasan santri perempuan yang mengakibatkan beberapa korban hamil dan melahirkan anak.
"Kekerasan seksual yang dilakukan aparat penegak hukum maupun dosen di perguruan tinggi, dampak kekerasan seksual terhadap korban dapat menghilangkan nyawa korban dan kriminalisasi," tutur Kustiah.
Baca juga: Rektor : Cegah kekerasan seksual sejak awal masuk kuliah
Baca juga: Kemenag susun strategi cegah kekerasan seksual di lembaga pendidikan
Baca juga: Pencegahan pemerkosaan butuh hukum yang berpihak pada korban
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021