"Budidaya ikan nila di Danau Toba itu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat, itu harusnya ditumbuhkembangkan, bukan untuk dimatikan,” kata Rokhmin Dahuri dalam webinar bertajuk "Potensi Ekonomi-Sosial Ikan Nila Untuk Masyarakat Toba" di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, kebijakan seperti pembatasan total ikan nila dari KJA (Keramba Jaring Apung) sebesar 10.000 ton per tahun menurutnya tidak akan menyelesaikan masalah.
Ia berpendapat bahwa kebijakan itu akan mengakibatkan berbagai masalah baru seperti puluhan ribu orang menganggur, negara kehilangan devisa Rp1,5 triliun per tahun, dan kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp5 triliun per tahun.
Baca juga: Seratus ribu benih nila ditabur di Danau Toba
Data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumatera Utara pada tahun 2020 menunjukkan, produksi ikan nila di Danau Toba adalah sebesar 80.941 ton. Selain itu, usaha KJA di Danau Toba menyerap tenaga kerja lebih dari 12.300 orang.
Tenaga kerja yang terlibat mulai dari sektor hulu hingga hilir, seperti pabrik pakan, hatchery, pembesaran, bersama pengolahan ikan nila, pabrik es, cold storage, hingga pengemasan.
Menurut Rokhmin, sejatinya pariwisata dan aktivitas budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan bisa berdampingan dan berkembang bersama, dengan catatan ada pengaturan yang jelas. Kata dia, negara-negara lain seperti Jepang dan Malaysia dapat menjadikan KJA sebagai obyek wisata.
Ia pun memberikan beberapa rekomendasi terkait pengelolaan KJA Danau Toba seperti pembatasan produksi ikan nila dari budidaya dalam KJA rata-rata 55.000 ton per tahun, sesuai perhitungan daya dukung Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2018.
Baca juga: Kemenko Marves: Keramba jaring apung di Danau Toba perlu diatur
Kemudian, semua aktivitas budidaya KJA harus ramah lingkungan dan memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang baik dan Benar (CBIB), serta sertifikasi dari lembaga internasional untuk pasar ekspor, serta zonasi lokasi KJA juga sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perairan Danau Toba yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan utama.
Pembicara lainnya. Guru Besar IPB, sekaligus Ketua Tim Riset Care LPPM IPB University tentang Resolusi Konflik Dalam Penanganan Sumber Daya Alam Danau Toba, Manuntun Parulian Hutagaol mengungkapkan terdapat banyak entitas yang dapat memberikan dampak pada lingkungan, seperti sungai-sungai kecil yang berjumlah lebih dari 100 sungai, industri perikanan, perhotelan, restoran, pemukiman penduduk, pertanian hingga pasar.
Oleh karenanya, kata dia, industri KJA Danau Toba perlu dipertahankan karena memberikan dampak maupun kontribusi besar pada perekonomian di Kawasan Danau Toba, salah satunya adalah mengentaskan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat, serta sebagai pondasi keberagaman basis perekonomian masyarakat Toba.
“Jadi memang betul-betul dibutuhkan suatu kegiatan ekonomi, pariwisata dan industri lainnya itu untuk menggerakan perekonomian Danau Toba, sehingga kemiskinan yang terjadi di sana bisa segera teratasi. Seperti saya temukan dari literatur, bahwa kemiskinan adalah musuh lingkungan dan faktor penting di balik kerusakan lingkungan,” ujar Parulian.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Konferensi Nasional Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil (Konas Pesisir) di Jakarta, Kamis (9/12), menggugah berbagai pemimpin dserah guna fokus mengelola kawasan pesisir secara terpadu.
Pamuji Lestari mengemukakan, terpadu artinya mengelola wilayah dengan memperhatikan alokasi ruang, daya dukung dan daya tampung serta menjalankan kebijakan dan program yang terukur dan berbasis kepada data ilmiah.
Ia juga menambahkan Konas Pesisir hadir untuk menjawab dan memberikan solusi terhadap isu-isu aktual pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang mampu mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan di berbagai tingkat pemerintahan antara ekosistem darat dan laut secara berkelanjutan.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021