Menurut dia, analisis risiko korupsi/corruption risk assessment (CRA) dan analisis dampak korupsi/corruption impact assessment (CIA) dibutuhkan demi mengetahui adanya celah atau peluang tindak pidana korupsi pada suatu peraturan, termasuk yang terkait dengan tata kelola SDA di Indonesia.
“Suap perizinan itu (kasus) yang sudah biasa, tetapi yang berkembang sebenarnya adalah korupsi yang biasa disebut melalui instrumen negara,” kata Hariadi saat acara diskusi virtual bertajuk Transparansi dan Anti Korupsi dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Ia mencontohkan instrumen negara seperti peraturan daerah, terutama terkait pengaturan Tata Ruang Wilayah (RTRW), rentan menjadi celah untuk perbuatan-perbuatan koruptif.
Contohnya, Peraturan Daerah Provinsi Riau No.10/2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau Tahun 2018-2038.
Perda itu, yang telah digugat ke Mahkamah Agung lewat uji materiil pada 2019, menetapkan kawasan lindung hutan gambut seluas 21.615 hektare. Namun, penetapan itu jauh di bawah ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No.71/2014 juncto PP No.57/2016.
Baca juga: KPK komitmen gandeng PAKSI dan API sebagai mitra pencegahan korupsi
Luas kawasan hutan lindung yang ditetapkan Pemerintah Provinsi Riau saat itu hanya 0,43 persen dari total luas lahan 4,9 juta hektare. Sementara kewajibannya saat itu, pemerintah harus menetapkan 30 persen lahan sebagai kawasan hutan lindung.
“Kalau bisa dibaca delik putusannya, kita (mem)buktikan dalam gugatan, kawasan (hutan) lindung yang ada diperkecil oleh penetapan tata ruang,” sebut Hariadi.
Mahkamah Agung pada 2019 mengabulkan keberatan para penggugat, yaitu Jikalahari dan Walhi, dan memerintahkan pasal-pasal yang mengatur soal penetapan kawasan hutan lindung itu dicabut agar tidak bertentangan dengan aturan-aturan di atasnya.
Terkait itu, ia menegaskan analisis terhadap risiko dan dampak korupsi sebelum suatu peraturan diundangkan harus dilakukan sehingga produk hukum yang berlaku nantinya tidak membuka celah bagi tindak pidana korupsi dan perilaku-perilaku koruptif lainnya.
Di samping analisis CIA dan CRA, Hariadi menyampaikan strategi lainnya untuk menekan peluang korupsi pada pengelolaan SDA terutama di sektor kehutanan, antara lain menerbitkan undang-undang yang mengatur konflik kepentingan.
“Kita tidak pernah punya undang-undang yang mengatur benturan kepentingan. Jadi, banyak sekali aspek dalam korupsi, siapa dengan siapa masih saudara, teman dekat saling berhubungan mengerjakan sesuatu, padahal dua belah pihak, misalnya yang satu pelaksana, satu pengawas,” ujar Hariadi.
Ia lanjut menerangkan sebagian besar kasus korupsi terkait pengelolaan SDA melibatkan jaringan yang terdiri dari berbagai macam pihak.
Ia mencontohkan penelitian terhadap kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan pada 2019 menunjukkan ada 201 simpul/pihak yang terkait dalam tindak pidana rasuah itu.
Kemudian strategi ketiga, Guru Besar IPB itu memyampaikan perlunya menggeser arah kebijakan yang tidak berorientasi pada prosedur kerja, tetapi pada hasil/outcome.
“Banyak prosedur kerja yang tidak sesuai kondisi di lapangan, tetapi kemudian itu dipaksakan dan akhirnya pasti ada kecurangan,” sebut Hariadi.
Dua strategi lainnya, ia mengusulkan agar ada kebijakan pengendalian monopoli dan pengaturan tata kelola keuangan partai politik.
“Terakhir, agenda besar tata kelola keuangan partai politik sangat menentukan,” tegas Hariadi.
Baca juga: KPK eksekusi Nurdin Abdullah ke Lapas Sukamiskin
Baca juga: KPK setor Rp600 juta ke kas negara dari dua terpidana korupsi
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021