• Beranda
  • Berita
  • BKKBN: Pemahaman gaya hidup yang salah sebabkan remaja putri anemia

BKKBN: Pemahaman gaya hidup yang salah sebabkan remaja putri anemia

20 Desember 2021 12:21 WIB
BKKBN: Pemahaman gaya hidup yang salah sebabkan remaja putri anemia
Potret Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin (20/12/2021). ANTARA/HO-BKKBN.

Kalau perempuan anemia ini hamil, risikonya bisa melahirkan anak stunting

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan bahwa pemahaman mengenai gaya hidup yang salah menjadi penyebab mengapa remaja putri di Indonesia banyak mengalami anemia.
 

“Setiap calon pengantin sangat penting untuk memperhatikan pra-konsepsi, jangan hanya sibuk pre-wedding, terutama perempuan yang rentan terkena anemia,” kata Hasto dalam keterangan tertulis BKKBN yang diterima ANTARA di Jakarta, Senin.
 

Hasto membeberkan bahwa remaja putri di Indonesia, memiliki pemahaman yang salah mengenai standar dan ukuran kecantikan.
 

Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa memiliki badan yang langsing hingga kurus merupakan hal yang baik. Padahal, adanya pemahaman tersebut justru membuat peluang anak lahir dalam keadaan kerdil (stunting) menjadi lebih besar.
 

Akibatnya berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), jumlah remaja putri yang mengalami anemia mengalami peningkatan tajam dari 37,1 persen pada tahun 2013, menjadi 48,9 persen di tahun 2018.

Baca juga: Ahli: Anemia dapat sebabkan sejumlah persoalan gizi

Baca juga: Cegah stunting sejak dini dari calon ibu masih remaja

 

Dengan rincian remaja yang paling banyak terkena anemia berkisar pada umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun. Kemudian pada angka wanita usia subur yang hamil dan mengalami kekurangan energi kronis (KEK) mengalami penurunan yakni sebesar 24,2 persen pada tahun 2013 menjadi 17,3 persen di tahun 2018.
 

Sedangkan untuk wanita usia subur yang tidak hamil dan mengalami KEK pada tahun 2013 ada sebanyak 20,8 persen dan pada tahun 2018 menjadi 14,5 persen.
 

"Padahal kesehatan remaja sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan terutama dalam upaya mencetak kualitas generasi penerus bangsa di masa depan. Kalau perempuan anemia ini hamil, risikonya bisa melahirkan anak stunting,” tegas Hasto.
 

Untuk menangani hal tersebut, dia mengatakan pemerintah harus terus melakukan kerja sama yang terkonvergensi dengan seluruh lapisan dalam masyarakat, hingga Ibu-ibu PKK, Bupati dan Walikota.
 

“Kolaborasi lintas sektor terutama Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama dan Bulog, maka kami bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Bulog, cita-cita saya nanti Bulog menyediakan pangan yang mengandung asam folat untuk dikonsumsi bagi para remaja terutama perempuan,” ujar dia.
 

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Nopian Andusti mengatakan bahwa setiap calon pengantin harus memperoleh pemeriksaan kesehatan dan pendampingan tiga bulan sebelum menikah.
 

Selama masa itu pula, calon pengantin juga akan mendapatkan bimbingan perkawinan dengan menggunakan materi pencegahan stunting.
 

“Harapannya faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada calon pengantin atau calon pasangan usia subur dapat teridentifikasi dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil,” ujar dia.

Baca juga: Anemia saat hamil dan asap rokok dapat akibatkan "stunting" bayi

Baca juga: Ahli: pemerintah tuntaskan persoalan stunting Indonesia Timur

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021