Penulis kenal Gus Yahya menjelang berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Sudah hampir seperempat abad silam. Adalah Gus Ipul (Saifullah Yusuf), yang jadi wasilah. Ruang kerja Gus Ipul selaku Sekjen DPP-PKB, sering jadi tempat ngobrol wartawan. Saya, termasuk Gus Yahya, yang kerap keluar terakhir dari ruangan. Dari situlah kami mulai saling sapa. Saya sering ditolak meski tetap ingin mencium tangan Gus satu ini untuk tabarrukan!
Kenapa tidak sekalian mengenalkan Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, pesaing Gus Yahya? Jujur, dia sudah melampaui urgensinya. Sudah sangat dikenal. Oleh kawan maupun lawan. Juga oleh sesama penganut mazhab moderat. Terlebih oleh kolompok garis lurus, atau jamaah yang sering jadi sasaran tembak beliau.
Atsar Masyayikh
Bahkan, dalam satu dekade terakhir, Kiai Said langganan masuk nominasi tokoh paling berpengaruh di dunia Islam, bersama KH Mustofa Bisri, atau Habib Luthfi bin Yahya atau Presiden Joko Widodo. Beliau adalah legenda hidup. Salah seorang teladan bagi bangsa ini, terlebih bagi kaum nahdliyin. Kiai Said sukses menjadi orang nomor satu di organisasi keagamaan dan kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Gus Yahya ? Dia adalah kader Kiai Said.
Baca juga: Pasang surut relasi Nahdlatul Ulama-negara-partai politik
Adalah Kiai Said yang memberi restu dan mendoakan. Gus Yahya didoakan memenangi pemilihan ketua umum PBNU, mengalahkan kompetitornya di muktamar. Kiai Said tidak salah. Gus Yahya patuh mengikuti atsar masyayikh. Saat ini, Gus Yahya menduduki jabatan tinggi sebagai Katib Aam, persis dulu Kiai Said sebelum jadi Ketua Umum. Piawai mengelola persaingan lewat cara-cara Gus Dur, Abah Hasyim, Kiai Said.
Selain data itu, inilah jejak pemikiran Gus Yahya, sebagai rintisan melanjutkan apa yang sudah para aimmah NU. Ia konsisten berangkat dari pendekatan sejarah dunia. Persis Kiai Said membangun tradisi berpikir kritis di lingkungan NU, lewat tarikh dan mazhab pemikiran dalam Islam. Varian pemikiran soal sejaran tatanan dunia ini yang tempo hari dishare Gus Yahya di hadapan civitas academika Universitas Pertahanan (Unhan), Sentul, Bogor.
Tatanan dunia
Alkisah, demikian Gus Yahya mengawali paparan dalam General Studium yang dilaksanakan secara daring dan luring itu, berabad lampau, hingga meletusnya Perang Dunia I, bangsa-bangsa di dunia membentuk kerajaan untuk mengelola peradaban. Kerajaan-kerajaan di Eropa, mengelola pemerintahan berbasis identitas agama ; yakni Kristen dan Katholik dengan beragam variannya.
Jerman yang dulu dikenal dengan sebutan Prusia, pengelolaan negaranya menggunakan pendekatan Katholik. Belanda, yang dengan VOC-nya ratusan tahun pernah menjajah Nusantara, didominasi oleh ajaran dan pengaruh Kristen Protestan. Bahkan, meski sama-sama tergolong negara Barat, Inggris malah menganut nilai Kristen Anglikan. Sementara Khilafah Turki Usmani, jelas tercatat dalam sejarah sebagai representasi Islam.
Konstruksi negara agama, Islam misalnya, menjadi kian mapan, dan termanifestasikan di hampir semua lini kelembagaan Islam. Dari tatanan politik, khazanah wacana keagamaan hingga hal-hal yang bersifat ritual. Wawasan negara agama menjelma keyakinan kokoh, dan masih diyakini oleh sementara orang sebagai ortodoksi Islam yang otoritatif hingga sekarang. Hingga akhirnya negara-negara agama terjebak dalam konflik besar dan berujung Perang Dunia I.
Sebagai sebuah nature, interaksi antarnegara agama secara tak terhindarkan cenderung mengarah pada konflik. Sebab, perebutan politik diterjemahkan sebagai aksi perebutan kebenaran absolut dari agama. Maka, kompetisi politik selalu dimaknai kompetisi kebenaran vs kebatilan, Tuhan lawan iblis, kebaikan dengan kejahatan. Puncaknya, Turki Usmani yang dianggap representasi konstruksi negara Islam pun kalah dan bubar!
Baca juga: Ketua LPBI sebut Kiai Said bawa NU aktif layani masyarakat
Saat itu, semua negara dan kerajaan menggunakan identitas agama. Terjadinya perang, aksi penaklukan dan perluasan wilayah, sering karena dalil agama. Tapi, pada saat yang sama, wacana dan kesadaran untuk meninggalkan format negara agama, mulai tumbuh. Trauma akut akibat konflik panjang berabad-abad dan berpuncak pada Peang Dunia I, jadi motivasi utama. Pada abad itu, hanya Amerika Serikat yang bukan negara agama.
Jejak Majapahit
Meski Kristen Protestan jadi agama dominan, tapi identitas ini dianggap tidak relevan dalam kehidupan rakyat di negara yang lahir di abad 18 itu. Amerika Serikat adalah negara multikultur dan kosmopolitan. Tapi, Paman Sam bukan negara pertama yang mengadopsi sistem tersebut. Jauh sebelum itu, empat abad silam, sebuah kerajaan di Nusantara, sukses mengelola hidup tidak berlandaskan identitas agama. Namanya Kerajaan Majapahit.
Meski rajanya, Hayam Wuruk, beragama Hindu dan Mahapatih Gajah Mada menganut Buddha, tapi keduanya bukan agama negara. Majapahit mengamalkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika --Berbeda Tapi Satu Jua. Karena identitas agama tidak menjadi keputusan politik kerajaan, maka penduduk Majapahit bebas menganut agama yang diyakini. Di kemudian hari, banyak pangeran Majapahit mondok di pesantren.
Kebebasan beragama yang saat ini dianggap sebagai hak dasar semua orang, tidak tumbuh dalam negara dan kerajaan yang menjadikan agama sebagai identitas politik. Inggris yang Anglikan tak pernah akur dengan Irlandia Utara yang Katholik. Non-Katholik jadi warga kelas dua di Prusia. Non-muslim di Turki Usmani, wajib punya "tiket dzimmah" khalifah agar bisa menjalankan agamanya.
Usai Perang Dunia I, dunia internasional mencari format baru untuk menggantikan konstruksi lama yang runtuh. Di dunia Barat muncul sejumlah ideologi alternatif. Misalnya, komunisme yang diikuti dengan upaya pelembagaan secara internasional dan melahirkan Komintern; organisasi komunis revolusioner internasional. Di perikatan ini berhimpun partai-partai komunis berbagai negara, yang eksis dari tahun 1919 hingga 1943.
Bapak Bangsa
Di dunia Islam, muncul beragam eksperimen ideologi untuk menggantikan konstruksi Turki Usmani yang runtuh. Tawarannya adalah gagasan Pan-Islamisme, Pan-Arabisme, hingga lahirnya gerakan Ikhwanul Muslimin (IM). Gerakan ini, diyakini lahir karena diilhami oleh komunisme internasional. Mereka mengadopsi berbagai elemen penting dalam ajaran Leninisme untuk mengonseptualisasi gerakan.
Pencarian tata dunia alternatif, pasca kompetisi antarnegara-negara agama, berujung pada meletusnya Perang Dunia II. Hal ini ditandai dengan eksperimen Jerman tentang nasionalisme atas dasar etnis Aria melawan etnis lain seperti Yahudi. Setelah Perang Dunia II, mulai muncul kesadaran untuk membangun tata dunia baru yang lebih menjamin stabilitas dan keamanan. Maka lahirlah konsensus internasional baru dan diwadahi dalam Piagam PBB.
Baca juga: Muhaimin sebut Gus Yahya dan Gus Dur miliki kesamaan
Terkait hal itu, visi dan misi yang dibuat para pendiri bangsa Indonesia, bukan semata sebagai jawaban atas Piagam PBB. Sebab, Indonesia sudah ada sebelum wadah bangsa-bangsa itu lahir. Pancasila digodok jauh sebelum kemerdekaan RI diproklamasikan. Nilai-nilai itu berkesesuian dengan fondasi tata dunia dalam konsensus internasional baru. Pembukaan UUD 1945, adalah idealisasi yang diingini oleh konsensus internasional baru.
Berbicara tentang hubungan nasionalisme dengan Islam, berarti berkomitmen dengan pilihan politik. Keabsahan kognitif dari dalil-dalil keagamaan, harus tetap berkonsekuensi logis dengan pilihan politik. Dan pilihan politik akan berkait dengan konsekuensi-konsekuensi realistis. Mereka yang menginginkan khilafah, adalah mereka yang menuntut kembalinya tata dunia lama seperti sebelum meletus Perang Dunia I.
Pilihan politik ini, mesti disikapi dengan wawasan terkait konsekuensi realistisnya. Memaksa kembali ke tata dunia lama, berarti meruntuhkan seluruh bangunan tata dunia, yang selama ini sudah memberi jaminan stabilitas dan keamanan relatif dalam dinamika internasional. Jika tata dunia pasca Perang Dunia II runtuh, maka chaos besar akan memicu Perang Dunia III. Teknologi militer mutakhir akan mempercepat lenyapnya peradaban manusia dari muka bumi!
Demikianlah paparan Gus Yahya Staquf! Visinya jelas dan terukur. Jauh ke depan. Perpaduan visi Gus Dur, Abah Hasyim, Kiai Said. Tentu saja diilhami masyayikh, muassis NU dan para Bapak Bangsa Pendiri NKRI. Kita tunggu kiprahnya untuk implementasi visi soal NU, NKRI dan tata dunia baru.
*) Ishaq Zubaedi Raqib adalah "penulisnya" Ketua Umum PBNU dua periode, KH A Hasyim Muzadi
Pewarta: Ishaq Zubaedi Raqib *)
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021