Pontianak (ANTARA News) - Tradisi tak lekang oleh zaman. Sebaris kalimat yang biasa digunakan untuk mengingatkan kita bahwa sesuatu yang tradisional pun layak ditampilkan meski tahun terus berganti.Ritual `ngampar bide` artinya `bepinta` (meminta), `bepadah` (memberitahu) kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan kelancaran,"
Suku Dayak di Kalimantan Barat masih mempertahankan tradisi leluhur saat akan memulai "Gawe", yang selanjutnya disebut Gawai atau pesta. Tradisi "Ngampar bide" atau menghampar tikar adalah upacara yang hanya digelar saat akan memulai Gawai Dayak di rumah Betang Panjang Pontianak.
Upacara tersebut selalu dilakukan saat menjelang Pekan Gawai Dayak,yakni pesta panen padi masyarakat Dayak yang dilaksanakan di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalbar.
"Ngampar bide", menurut Ketua Panitia Pekan Gawai Dayak XXVI Kalbar, Herculanus Didi, dilaksanakan pada Rabu (18/5) atau dua hari sebelum pembukaan secara resmi Pekan Gawai Dayak oleh Gubernur Kalbar.
Ritual itu diadakan supaya mendapatkan kemudahan dari sang pencipta untuk melaksanakan acara tahunan tersebut yang akan dimulai pada Jumat (20/5).
"Ritual `ngampar bide` artinya `bepinta` (meminta), `bepadah` (memberitahu) kepada Jubata atau Tuhan supaya kegiatan kita mendapatkan kemudahan dan kelancaran," kata Herculanus Didi di Rumah Betang Panjang, Jl Sutoyo, Pontianak.
Ritual tersebut dari bahasa Kanayatn, yakni sub suku yang menggunakan bahasa Bekati atau Ahe yang tersebar dari Kabupaten Kubu Raya, Pontianak, Bengkayang, Landak dan kini di Kota Pontianak.
"Ngampar" yang berarti menggelar atau menghamparkan, sementara "Bide" mengandung pengertian sebagai tikar atau tempat untuk berserah.
"Upacara ini harus digelar sebelum memulai Gawai (pesta)," kata Didi lagi.
Tak berbeda jauh dengan Didi, Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Yakobus Kumis, mengatakan "Ngampar bide" upacara adat yang dilaksanakan untuk memulai acara Pekan Gawai Dayak.
Intinya izin permisi. Kehadirat Jubata serta meminta pertolongan kepadanya agar pelaksanaan Pekan Dawai dapat berjalan dengan lancar dan sukses. "Hanya untuk Pekan Gawai Dayak," katanya.
Ritual itu juga tidak ada dalam acara Naik Dango atau upacara sejenisnya dengan tujuan yang sama, untuk bersyukur kepada Jubata setelah keberhasilan dalam panen padi, yang digelar oleh warga Dayak di sejumlah kabupaten/kota di Kalbar.
Dalam ritual tersebut ada tiga tahapan, pertama upacara Nyangahatn manta` atau bapipis yakni doa adat sebelum seluruh peragaan adat disiapkan.
Kedua, Bapadah kapanyuku atau pantak pantulak atau upacara adat yang dilakukan untuk meminta perlindungan kepada penjaga di sekitar kompleks Rumah Betang agar tidak ada hambatan atau rintangan sehingga pelaksanaan berjalan lancar dan sukses.
Dan ketiga, upacara Nyangahatn masak atau upacara adat doa puncak dari seluruh proses "Ngampar bide", di mana seluruh peraga adat sudah tersaji dan merupakan inti dari doa atau nyangahatn.
"Imam"
Sejumlah hidangan, tempayan, nampan, tempat sirih dan isinya berupa pinang, gambir, daun sirih, kapur, potongan daging babi, ayam, beras pulut (ketan), beras putih, telur ayam, lemang dan kue cucur terhidang di ruang pertemuan Rumah Betang Panjang.
Seorang imam (pemimpin doa) didampingi seseorang yang menyiapkan bahan-bahan tersebut, duduk di hadapan sesajian dengan mulut komat-kamit membaca doa. Imam terlihat sesekali menepis lembaran daun selasih, pandan dan rijuang, ke hidangan itu setelah dibasahi air.
Sang imam, Kanisius Kasan (61), sudah memimpin upacara tersebut selama lima tahun terakhir, tampak tekun membaca doa. salah satu doa yang dibacakan Kasan, terdengar menyebut nama beberapa orang yang dianggap "raja" atau pemimpin di masyarakat Dayak. Di antaranya Gubernur Kalbar, Cornelis.
"Kami mendoakan beliau (Gubernur Cornelis) karena kami menganggapnya sebagai raja bagi orang Dayak," kata Kasan ketika ditemui usai ritual.
Kasan secara turun-temurun memiliki kemampuan sebagai seorang ahli spiritual atau dukun di masyarakat Dayak.
Pada Pekan Gawai Dayak XXVI 2011, Kasan diminta kembali memimpin upacara tersebut.
Ia mengatakan "Ngampar bide" sebagai ritual yang dihadiri para tokoh Dayak untuk menyiapkan Gawai, membahas persiapan gawai atau pesta termasuk memohon perlindungan Jubata (Tuhan Yang Maha Esa) agar Pekan Gawai Dayak yang berlangsung 20-24 Mei dapat berjalan lancar dan sukses.
Menurut dia lagi, dalam bacaan yang disampaikan saat "Ngampar bide" yang menggunakan bahasa Kanayatn, disebutkan akan ada pertemuan (bahaum) untuk pesta. Dalam ritual itu juga disampaikan jadwal dan tanggal berapa pesta diadakan. Supaya orang-orang yang mendengarkan menjadi tahu tentang acara tersebut.
"Bapak pergi, ibu tidak. Jadi dikasih tahu. Gawai tahun ini, Ngampar bide diadakan tanggal 18 Mei. Jadi orang dikasih tahu ada bahan-bahan yang dipakai seperti bambu dan kayu api untuk masak," kata dia.
"Ngampar bide" dilakukan juga agar saat pesta tidak ada gangguan, katanya.
Ritual itu berlangsung di ruang pertemuan Rumah Betang, berlanjut ke sebuah pondok yang disebut pagugu padagi terdapat patung kayu yang disimbolkan sebagai "nek nukukng" atau patung keramat, kemudian ke pintu gerbang kompleks rumah Betang yang terdapat sebuah tempayan penolak bala, "nek pantulak" supaya orang tidak bertengkar atau berkelahi.
Sebagian sesaji ditinggalkan di sekitar patung kayu dan di dalam mangkuk, kemudian diletakkan di atas tempayan dan digantung pada dua tombak penyangga tempayan tersebut. Bahan-bahan tersebut seperti sirih, pinang, kapur, gambir, dan rokok daun nipah ditambah sedikit air. "Itu untuk menghentikan perkelahian," kata Kasan lagi.
Ia mengatakan, pernah saat Pekan Gawai beberapa tahun lalu terjadi perkelahian di sekitar kompleks Rumah Betang karena ada peserta Gawai yang mabuk, dan bahan-bahan yang ada di dalam tempayan, berfungsi untuk menghentikan perkelahian itu.
Kebiasaan mabuk saat Gawai kini pelan-pelan ditinggalkan generasi muda Dayak. Pelarangan mabuk karena banyak mengkonsumsi tuak, salah satu minuman khas Dayak, berulang kali diingatkan para tokoh dan pemimpin Dayak, termasuk Gubernur Cornelis yang dibanggakan warga Kanayatn.
Ada Ngampar bide, maka ada pula "Gulung bide", yakni ritual menutup Pekan Gawai Dayak yang akan diadakan pada Selasa (24/5) pagi. Ritual itu sebagai tanda berakhirnya pesta panen padi tersebut secara adat.
Sedangkan secara resmi, Pekan Gawai akan ditutup oleh Gubernur pada malam harinya.
"Ngampar bide", merupakan satu dari sekian banyak tradisi dan budaya Dayak yang belum dikenal masyarakat umum, bahkan oleh sebagian generasi muda suku yang mendiami pulau Kalimantan itu sendiri.
Masih ada ritual adat lainnya, namun akankah sama dengan "Ngampar bide" yang tetap dipertahankan hingga tak lekang oleh zaman?
(N005/Z003)
Oleh Nurul Hayat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011