Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Muhammad Yusrizki memandang pentingnya perubahan regulasi dalam rangka mendorong transisi energi dan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT).Transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi pembangkitan atau bagaimana energy mix kita antara energi fosil dan energi EBT. ...
Yusrizki dalam kegiatan peluncuran Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2022 oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, Rabu, mengatakan regulasi itu penting untuk mendukung pemanfaatan teknologi pembangkit maupun energi bauran.
"Transisi energi tidak hanya berhenti pada teknologi pembangkitan atau bagaimana energy mix kita antara energi fosil dan energi EBT. Tidak ada yang menyangkal bahwa aspek pembangkitan punya peranan penting, tetapi kebutuhan akan pembangkitan listrik tidak berdiri dalam ruang hampa. Teknologi tersebut harus didukung dengan regulasi yang mendukung ekosistem transisi energi," kata Yusrizki.
Baca juga: Menteri ESDM: Potensi dan teknologi EBT modal utama transisi energi
Ia memastikan regulasi tersebut nantinya dapat mendukung pelaksanaan transformasi menuju net zero emission pada 2060 yang bermanfaat untuk menjaga kesinambungan lingkungan dalam jangka panjang.
"Teman-teman dari asosiasi dan pemangku kepentingan lain banyak yang memiliki pemahaman yang lebih komprehensif, terutama jika aturan tersebut menyangkut aspek teknis atau operasional. Tetapi sebagai perwakilan Kadin yang mengemban tugas atas transisi energi dan net zero emission, saya menekankan pada pentingnya peraturan yang memberikan korelasi antara teknologi pembangkitan dan emisi karbon yang dihasilkan," katanya.
Yusrizki juga menjelaskan lebih lanjut mengenai pentingnya transisi dalam upaya mencapai nol emisi karbon mengingat penyediaan listrik dari energi fosil masih diperlukan dengan pertimbangan keamanan dan reabilitas.
"Akan tetapi jika kita memiliki formula harga yang terhubung dengan tingkat emisi, terutama dalam siklus perencanaan ketenagalistrikan, otomatis harga tersebut tidak hanya merefleksikan kepentingan pasokan listrik tetapi juga tingkat emisi," tambah dia.
Baca juga: Kadin dorong komitmen PLN dalam pemanfaatan EBT
Ia mencontohkan apabila Indonesia masih membutuhkan PLTU batubara untuk alasan stabilitas sistem, maka bisa saja PLN tetap menjalankan PLTU batubara, tetapi harga listrik dari PLTU batubara tersebut disesuaikan dengan tingkat emisi yang dihasilkan.
"Saat ini harga jual listrik EBT selalu dibandingkan dengan BPP nasional atau setempat, yang kita sudah pahami bahwa BPP banyak dibentuk oleh pembangkit listrik tenaga fosil tanpa memperhitungkan emisi gas buang. Maka sampai hari ini konteks perencanaan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan masih berpatokan kepada satu faktor yaitu harga. Emisi sama sekali belum diperhitungkan sebagai faktor dalam perencanaan," katanya.
Yusrizki menegaskan bahwa belum terwakilinya emisi dalam siklus perencanaan infrastruktur ketenagalistrikan membuat perlunya revolusi sektor ketenagalistrikan untuk mendukung agenda transisi energi Indonesia.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021