"Masalahnya, selama ini orang Bali itu tidak mau sungguh-sungguh menjadi petani," kata Pastika dalam kegiatan resesnya bertajuk Pemuda Milenial itu di Agro Learning Center di Denpasar, Minggu.
Mantan Gubernur Bali tersebut menyayangkan seringkali generasi muda Bali tertarik kuliah di fakultas pertanian, karena berharap setelah lulus kuliah bisa menjadi PNS dan bukannya benar-benar terjun ke sawah.
"Atau malah maunya jadi kadis pertanian, padahal posisi kadis itu 'kan hanya satu orang," seloroh Pastika.
Anggota Komite 2 DPD itu pun kembali menyinggung program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) yang digagasnya saat masih menjabat Gubernur Bali sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani, paling sedikit dua kali lipat.
Program Simantri yang diluncurkan pertama kali pada 2009 hingga 2018 sudah terbentuk sebanyak 800 unit Simantri yang pendanaannya dibantu oleh Pemprov Bali.
Dia mengemukakan, untuk setiap sapi dari 20 ekor sapi yang dipelihara di unit Simantri setidaknya per hari dapat memberikan nilai tambah Rp50 ribu dari hasil pengolahan kotoran dan urine sapi menjadi pupuk organik dan biourine.
"Satu ekor sapi, untuk kotorannya bisa dihasilkan hingga tiga kilogram pupuk per hari dan satu liter urine dapat dihasilkan empat liter biourine," ucap mantan Kapolda Bali itu.
Dalam kesempatan itu, Pastika juga berbincang-bincang terkait prospek budi daya lele dengan Nyoman Baskara selaku penggagas Agro Learning Center dan salah satu petani dari Peguyangan Kaja, Kota Denpasar.
Baskara menyampaikan di lahan seluas sekitar 30 are tersebut, selain ditanami berbagai jenis tanaman sayur dan buah-buahan, juga dilengkapi dengan kolam budidaya lele dan nila.
Sementara itu, Wagan Sugasta, peternak lele dari Peguyangan Kaja mengatakan telah 13 tahun menekuni budi daya lele.
Sugasta dapat memproduksi benih lele di kisaran 150 ribu-200 ribu ekor setiap bulannya dengan harga satu ekor benih dari Rp150-Rp300 yang dijual untuk wilayah Kota Denpasar, Kabupaten Bangli, Karangasem dan Tabanan.
Selain itu, produksi lele yang untuk konsumsi, setiap bulannya dapat diproduksi hingga 1,5 ton. Namun, dalam enam bulan terakhir permintaan berkurang sehingga rata-rata produksi diturunkan menjadi 700 kilogram.
"Untuk lele yang ukurannya besar atau melebihi ukuran untuk dijual sebagai lalapan, dijual dalam bentuk lele bumbu sehingga lele dengan berbagai ukuran tetap laku. Harga perkilogramnya itu di kisaran Rp17.000 hingga Rp17.500," katanya.
Pastika dalam kunjungannya ke ALC itu juga berkesempatan menebar lele dan nila serta memberikan pakan ikan ke kolam yang tersedia dan memberikan bingkisan bahan pokok kepada mahasiswa dan perwakilan UMKM binaan Agro Learning Center itu.
Sebelum mengunjungi Agro Learning Center, Pastika didampingi staf ahli Ketut Ngastawa, Nyoman Baskara dan Nyoman Wiratmaja juga berdialog dengan para anggota Subak Lungatag, Desa Penatih, Kota Denpasar.
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021