Meneruskan tren positif, IHSG awal tahun langsung bergerak naik menembus ke atas 6.000 dan bahkan pada pertengahan Januari dengan gesitnya mampu mencapai level 6.435, meski kemudian anjlok lagi hingga 5.862 di penghujung bulan.
Walau demikian, setelah itu dalam bulan-bulan selanjutnya IHSG mayoritas selalu bergerak di kisaran level 6.000 hingga 6.250. Varian Delta yang benar-benar menjadi momok menakutkan pada Juli pun hanya membuat IHSG turun sedikit di bawah level 6.000.
Sejak Oktober, IHSG mulai berani bergerak menanjak. Sejak medio bulan yang sama hingga jelang tutup tahun ini, IHSG terus berada di atas level 6.500 dengan catatan pencapaian level tertinggi baru dalam sejarah pasar modal yaitu 6.723,39 pada 22 November 2021.
Sejalan dengan pertumbuhan IHSG, jumlah perusahaan yang melantai di bursa melalui mekanisme penawaran umum perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) pada tahun ini pun telah melampui realisasi tahun lalu.
Sampai dengan 20 Desember 2021, sudah ada 54 perusahaan yang telah mencatatkan sahamnya di bursa dengan perolehan dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp62,61 triliun dibandingkan 2020 yang mencapai 51 perusahaan dengan total penghimpunan dana Rp5,58 triliun.
Perusahaan rintisan berstatus unicorn PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) dan anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk yang bergerak di bisnis menara telekomunikasi PT Daya Mitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) atau Mitratel menjadi perusahaan yang meraih dana segar dari IPO yang terbesar pertama dan kedua sepanjang 2021 masing-masing mencapai Rp21,9 triliun dan Rp18,79 triliun.
Sedangkan dalam daftar atau pipeline saham bursa, hingga saat ini masih ada 25 perusahaan lagi yang berencana untuk mencatatkan sahamnya di BEI. Momentum pemulihan ekonomi nasional tampaknya turut mendorong korporasi untuk melakukan penggalangan dana di pasar modal domestik pada tahun ini.
Selain IPO, penggalangan dana yang berasal dari Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau right issue juga menunjukkan angka yang relatif tinggi pada 2021 yaitu mencapai Rp163,18 triliun. Nilai right issue terbesar dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) sebesar Rp98,9 triliun.
Di sisi lain, jumlah investor di pasar modal kian melonjak. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), per 17 Desember 2021, jumlah investor pasar modal Indonesia sepanjang 2021 mencapai 7,3 juta Single Investor Identification (SID) atau naik 89,58 persen.
Jumlah tersebut terdiri dari 3,41 juta investor yang memiliki aset saham (meningkat 101,19 persen), 6,71 juta investor yang memiliki reksa dana (naik 111,29 persen), dan 607 ribu investor yang memiliki aset Surat Berharga Negara atau SBN (meningkat 31,96 persen).
Pembatasan sosial akibat pandemi tampaknya membuat masyarakat memiliki lebih banyak waktu untuk bertransaksi di pasar modal. Jumlah investor aktif harian naik signifikan dari sebelumnya sekitar 94 ribu investor kini telah mencapai lebih dari 200 ribu investor.
Menariknya lagi, sebanyak 99,5 persen dari total investor di pasar modal saat ini merupakan investor ritel yang didominasi generasi milenial dan generasi Z.
Baca juga: BEI: Investor ritel dan milenial masih dominasi pasar modal tahun ini
Prospek
Pada 2022, prospek dan penggalangan dana di pasar modal domestik diyakini akan lebih baik dibandingkan 2021. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Organisasi Regulator Mandiri atau SRO pasar modal juga terlihat lebih adaptif terhadap perkembangan bisnis dan industri perusahaan-perusahaan di Tanah Air.
Teranyar, OJK merilis Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 22/POJK.04/2021 tentang penerapan klasifikasi saham dengan hak suara multipel atau Multiple Voting Shares (MVS) untuk mendorong perusahaan yang sudah kategori unicorn atau decacorn untuk mengakses pasar modal.
POJK 22 tersebut mengatur tentang penerapan MVS oleh emiten dengan inovasi dan tingkat pertumbuhan tinggi yang melakukan penawaran umum efek bersifat ekuitas berupa saham. POJK tersebut mengatur mengenai penerapan saham dengan hak suara multipel, yaitu satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu. Penerapan MVS sendiri sudah lazim di luar negeri.
Perusahaan startup digital dinilai memang masih memerlukan kepemimpinan dari pendiri atau founder mengingat perusahaannya masih berumur cukup muda. Kendati begitu, memang hal tersebut juga menunjukkan perusahaan digital sangat bergantung sekali kepada pendirinya.
Jika dilihat dari sudut pandang lain, perusahaan digital yang menerapkan MVS seperti sangat rentan apabila ditinggal oleh pendirinya. Oleh karena itu, beleid yang dikeluarkan oleh otoritas ditujukan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan digital tersebut.
Investor ritel di era digital ini sangat meningkat pesat. Dengan kebanyakan adalah investor generasi milenial dan generasi Z, pasar modal Indonesia menjadi menarik, terlebih sekarang juga sudah banyak aplikasi teknologi yang mendukung kemudahan investasi pasar saham. Kondisi itulah yang ingin dimanfaatkan oleh perusahaan startup unicorn dengan melantai di bursa saham.
Perkembangan kondisi kenormalan baru yang semakin kondusif, meski kini muncul varian Omicron, dan pemulihan ekonomi nasional yang ditargetkan mencapai 5,2 persen pada 2022, diproyeksikan akan menjadi katalis yang mendorong korporasi atau perusahaan melakukan ekspansi bisnis melalui pendanaan dari pasar modal domestik.
Sejumlah indikator pasar modal seperti pergerakan IHSG, jumlah perusahaan tercatat, dan jumlah investor, yang tumbuh positif, diharapkan akan terus berlanjut dan semakin membaik pada 2022 mendatang sehingga membawa optimisme dan menjadi momentum bagi perusahaan-perusahaan untuk mengakses pasar modal.
Baca juga: Pengamat: Aturan MVS untuk pastikan keberlangsungan perusahaan digital
Baca juga: BEI resmi tutup kode broker dan sesuaikan mekanisme perdagangan
Baca juga: Tren pertumbuhan pasar modal diprediksi berlanjut pada 2022
Baca juga: BEI bidik transaksi harian Rp13,5 triliun pada 2022
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Satyagraha
Copyright © ANTARA 2021