Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai komitmen pemerintah Indonesia untuk transisi energi dan mengatasi dampak perubahan iklim sudah cukup positif, namun masih banyak pekerjaan rumah untuk mencapai tujuan tersebut.Jadi memang harus menambah 13.000 megawatt. Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu, kapasitas yang harus dibangun 3.000-an megawatt setiap tahun, ini tantangan
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan tambahan 900 megawatt energi terbarukan masih di bawah target, karena seharusnya Indonesia bisa menambah 14.000 megawatt pada 2002-2005 untuk mencapai target 23 persen energi bersih.
“Jadi memang harus menambah 13.000 megawatt. Dalam empat tahun ke depan kita harus bisa mengejar itu, kapasitas yang harus dibangun 3.000-an megawatt setiap tahun, ini tantangan,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Selasa.
Fabby meminta pemerintah melengkapi dan memperbaiki kerangka regulasi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan bisa lebih cepat.
Menurutnya, regulasi yang menghambat pengembangan energi terbarukan harus diganti agar bisa meningkatkan daya tarik investasi karena pembangunan pembangkit energi bersih tidak harus melalui pemberian insentif, tetapi kepastian peraturan.
Lelang energi terbarukan melalui pengaturan frekuensi dan volume harus jelas setiap tahunnya, sehingga investor bisa mengalokasikan rencana investasi dalam jangka panjang di Indonesia.
Manajer Program Prakarsa Herni Ramdlaningrum mengatakan transisi energi di Indonesia sudah ada kemajuan, semisal rencana penghentian pembangkit batu bara dan arah kebijakan keuangan hijau. Namun, untuk mencapai target bauran energi bersih 23 persen pada 2025 masih jauh.
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih melibatkan organisasi masyarakat dalam proses transisi energi agar pembuatan kebijakan dapat lebih inklusif dan partisipatif. Koherensi kebijakan lintas sektoral menjadi sangat penting agar transisi energi dapat terkoordinasi antara PLN, Kementerian ESDM, dan Kementerian PPN/Bappenas.
Pemerintah juga perlu menciptakan ekosistem yang memadai sebelum mengeluarkan kebijakan terkait carbon tax dan carbon trading, apalagi dengan harga Rp30 per kilogram karbon dioksida yang dinilai masih terlalu rendah.
Sedangkan dari sisi pembiayaan transisi energi, peneliti Prakarsa Fiona Armintasari mengatakan perlu melibatkan berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga keuangan internasional, dan institusi perbankan.
Saat ini, lembaga keuangan internasional mendominasi pembiayaan transisi energi. Padahal peran bank terutama swasta, sangat penting dalam mendorong transisi energi, apalagi di Indonesia sekitar 80 persen aset keuangan dipegang bank swasta.
Fiona menuturkan ekosistem keuangan berkelanjutan perlu terus didorong untuk mempercepat transisi energi salah satunya green taxonomy yang saat ini tengah disusun OJK.
"Sudah ada definisi yang jelas tentang apa saja aktivitas bisnis yang bisa dikategorikan hijau. OJK harus memastikan tidak ada peluang greenwashing dengan dibentuknya green taxonomy,” ujarnya.
Direktur Climate Policy Initiative (CPI) Indonesia Tiza Mafira mengatakan pemerintah perlu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk melakukan transisi energi mikro di rumah tangga, seperti tariff net metering untuk solar panel yang menghasilkan penghematan tagihan listrik, infrastruktur yang mendukung peralihan ke transportasi umum listrik dan kendaraan pribadi listrik, serta insentif untuk memilih produk yang efisien energi.
Untuk mempercepat transisi energi dan penanganan perubahan iklim, pemerintah harus lebih berani menghilangkan subsidi energi fosil yang menghambat daya saing energi baru dan terbarukan dan menciptakan mekanisme pembatasan karbon secara tegas.
Sementara itu, Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani mengatakan masyarakat dunia memantau proses transisi energi di Indonesia. Maka, target memensiunkan dini pembangkit listrik tenaga batu bara, serta menambah porsi energi terbarukan secara masif dengan dukungan pada kemudahan investasi dan proses pengadaannya perlu direalisasikan.
Komoditas batu bara dan industrinya harus dibuat jadi mahal dengan dimasukkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari emisi yang tinggi dan dampak ekonomi sosial lingkungan yang mengikuti.
"Konsistensi kebijakan transisi energi ini akan meningkatkan akuntabilitas negara dan menjadi atraktif bagi investasi yang mendukung ekonomi hijau, termasuk di dalamnya bantuan internasional,” tegas Verena.
Pada 2019, Bappenas menyatakan bahwa upaya pengurangan emisi Indonesia pada tahun 2030 akan memberikan pertumbuhan PDB rata-rata 6,0 persen per tahun hingga 2045, dan menyediakan lebih dari 15 juta pekerjaan baru pada tahun 2045.
Indonesia harus merebut peluang bonus demografi yang saat ini sedang dialami hingga 2045 dengan cara membuka akses pada peningkatan kesempatan meraih pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan ramah lingkungan yang memberikan pengupahan secara layak.
Baca juga: IESR: Pemerintah perlu mempersiapkan ekosistem transisi energi
Baca juga: Menteri ESDM: Potensi dan teknologi EBT modal utama transisi energi
Baca juga: PGN optimalkan pemanfaatan gas bumi di masa transisi energi
Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021