Jakarta (ANTARA News) - Yuk ramai-ramai memboikot Negeri Singa? Alasannya, negeri jiran itu mengamini ujaran penilep trilyunan uang rakyat negeri ini. Para bandit uang nyaring berkata, "kejarlah daku sampai ke ujung dunia". Dan Singapura bersepakat menyeru, "duitmu bakal kutangkap."Aksi boikot tetap tak dapat terkalkulasi dan tak dapat terbendung seperti banyaknya duit yang digondol para bandit duit
Singapura yang tertimbun uang, Indonesia yang terluka. Ini ulah para bandit duit yang menggunakan serba aneka alasan, dari ngacir ke negeri orang, sampai sakit atau lupa ingatan. Tembang ngepop para bandit, "di sini senang, di sana senang" menghiasi album dari penegakan hukum.
Dan soal koruptor Indonesia yang lari tunggang langgang ke Singapura, sejumlah mantan pejabat punya aneka pendapat. Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla mengatakan, "Singapura itu paling aman, tidak ada perjanjian ekstradisi dan dekat dengan Indonesia dan mudah komunikasinya...Ya semua yang ke sana, yang takut. Kalau takut berarti ada masalah kan".
Mantan Ketua MPR Amien Rais MA menilai Pemerintah Singapura sejak lama hanya mengincar para koruptor Indonesia yang melarikan diri ke negara itu sehingga tidak ada niat baik untuk menjalin perjanjian ekstradisi.
"Singapura memang ingin melindungi para koruptor Indonesia yang melarikan diri ke negara tersebut sehingga cukup aneh bila ada suatu perjanjian ekstradisi," ujarnya. Ajakan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia sudah dijajaki sejak 1974.
Lebih lanjut Kalla mengungkapkan bahwa ketika ia masih menjabat sebagai Wakil Presiden 2004-2009, telah ada perjanjian ekstradiksi yang pernah dirembug dengan pemerintah negara pulau tersebut. Buntutnya, finalisasi perjanjian itu gagal. Pemerintah Singapura mengaitkan dengan perjanjian lainnya. "Setelah itu enggak jadi," katanya menegaskan.
Pada 2005, perdana menteri Singapura dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menandatangani perjanjian ekstradiksi Indonesia-Singapura dan perjanjian kerjasama pertahanan di Bali. DPR menolak untuk meratifikasinya sebab klausul perjanjian pertahanan akan mewajibkan Indonesia memberikan spot bagi Singapura untuk mendirikan markas militer di Indonesia. Weleh, weleh! Mau bukti?
Hasil survei yang dibuat Merril Lynch Singapura akhir tahun 2005 mendapati bahwa total aset orang kaya di Singapura sebesar US$260 miliar. Yang mengejutkan, sepertiga dari 55.000 orang kaya di Singapura atau sekitar 18.000 orang yang memiliki kekayaan minimal di atas US$1 juta, adalah orang Indonesia.
Mereka rata-rata berstatus sebagai penghuni tetap (permanent resident). Jumlah kekayaan orang Indonesia di Singapura diperkirakan sekitar US$87 miliar atau setara dengan Rp800 triliun, yang pastinya sebagian aset itu berasal dari para bandit yang ngumpet di Singapura.
Para bandit duit bukan Robinhood dari hutan Sherwood, meskipun keduanya sama-sama dapat memicu gejolak massa. Robinhood membagikan hasil jarahannya kepada orang-orang miskin desa. Sementara para bandit duit asal Indonesia yang kabur ke Singapura pada akhirnya akan dihakimi massa.
Duit telah menjadi simbol massa, kata filsuf Elias Canetti. Ada hubungan antara uang dan orang yang didasari oleh angka, yaitu jutaan. Pengertian jutaan memiliki makna ganda, bisa mengacu kepada banyaknya uang atau banyaknya jumlah orang. Jutaan uang yang dirampok berarti jutaan massa siap diturunkan pula.
Orang jaman dulu beranggapan bahwa mengumpulkan koin-koin uang sama halnya menumpuk harta benda yang menyimbolkan "berapa banyak massa yang terhimpun atau terkuasai". Para raja dan penguasa waktu itu suka kalau wajahnya terlukis dalam uang.
Soal uang, orang Romawi berkata "Pax Pecuniaria" atau kedamaian dengan uang. Kata "pecuniarius" (uang), asal usulnya dari kata "pecus" yang artinya sapi. Waktu itu, jual beli masih dilakukan dengan cara barter dengan sapi yang harganya mahal. Tersebutlah istilah "dagang sapi", yang artinya kesepakatan tertutup dan terbatas antar kelompok yang berkepentingan saja.
Secara terang benderang, para bandit yang suka nilep uang rakyat akan berhadapan dengan rakyat. Di mana taring hukum? Filsuf Jacques Derrida menyatakan selalu ada yang tidak dapat terkalkulasi ketika kita mengkalkulasikan hukum. Ia mencontohkan, pemakaian bahasa dalam hukum negara yang biasanya memakai bahasa resmi negara yang menyingkirkan pemakaian bahasa suku. Ini momen kekerasan.
Bagi Derrida, hukum tampil sebagai implementasi keadilan. Hukum berusaha mewujudkan keadilan, tetapi hukum itu sendiri tidak pernah sama dengan keadilan. Dekonstruksi adalah keadilan!
Inikah garis berangkat dari aksi boikot untuk membongkar kongkalikong para bandit duit Indonesia yang kabur ke Singapura? Aksi boikot tetap tak dapat terkalkulasi dan tak dapat terbendung seperti banyaknya duit yang digondol para bandit duit. Uang dibayar dengan massa. Massa dibayar dengan uang. Ingin adil? Saatnya dekonstruksi, bukan justru dagang sapi.
(T.A024)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011