"Sejauh ini dilaporkan sampai 30 Desember 2021 sudah ada 68 kasus varian Omicron di negara kita. Selain jumlahnya yang terus meningkat, maka sebenarnya kasus-kasus ini dapat dibagi dalam tiga kelompok dengan cara penanggulangan yang masing-masing berbeda," kata Tjandra Yoga Aditama melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Mayoritas kasus Omicron di Indonesia dialami penerima vaksin lengkap
Pertama, kata Tjandra, upaya tindak lanjut terhadap 65 orang pelaku perjalanan luar negeri yang terdeteksi Omicron di pintu masuk negara adalah tetap memperketat pengawasan bagi pendatang dari luar negeri melalui pemeriksaan RT-PCR dan kalau perlu genom sekuensing atau pengurutan genom ketika yang bersangkutan baru masuk Indonesia.
Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan karantina sesuai aturan yang ada dan perlu dipastikan memiliki laporan hasil tes kesehatan negatif COVID-19 sebelum ke luar dari karantina.
Kedua, adalah tindakl terhadap dua orang petugas di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Jakarta yang diberitakan tertular di tempat kerjanya.
Menurut Tjandra peristiwa itu menunjukkan bahwa varian Omicron memang jauh lebih mudah menular dari varian pendahulunya seperti Alpha, Beta maupun Delta. "Buktinya yang di dalam Wisma Atlet sekalipun yang tentu prosedur pengawasan amat ketat, maka tetap saja terjadi penularan," ujarnya.
Kasus di RSDC Wisma Atlet juga menunjukkan bahwa pencegahan infeksi di dalam fasilitas rumah sakit (infeksi nosokomial) harus lebih ketat dari yang sudah dijalankan selama ini terhadap varian Delta.
"Program Pengendalian Infeksi (PPI) di semua rumah sakit kita benar-benar harus lebih terjaga baik lagi," ujarnya.
Hal ketiga adalah satu kasus transmisi lokal yang dialami pelaku perjalanan Medan-Jakarta tanpa riwayat kontak fisik dengan pelaku perjalanan luar negeri.
"Artinya kita memasuki 'babak baru' di mana kasus varian Omicron bukan saja yang datang dari luar negeri atau berhubungan dengan itu seperti 67 kasus yang ada, tetapi juga sudah ada di masyarakat," katanya.
Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu menyarankan sejumlah tindakan yang dapat ditempuh untuk mengantisipasi transmisi lokal.
"Tentu melakukan karantina pada pasiennya dan itu sudah dilakukan. Selanjutnya, melakukan telusur untuk mengetahui apakah ada kontak dari pasien yang juga sudah tertular dan kalau ada tentu perlu dilakukan karantina dan telusur selanjutnya," katanya.
Menurut Guru Besar Paru FKUI itu, penting untuk diketahui awal mula penularan dari transmisi lokal. "Jadi ditelusuri mundur ke belakang. Hal ini sangat penting karena dengan kita tahu siapa yang awal menulari maka dia dapat dikarantina dan dicek kemungkinan dia sudah menulari ke orang lain pula," katanya.
Kalau penular awal tidak ditemukan, kata Tjandra, maka berpotensi memicu angka penularan yang lebih besar di masyarakat.
"Secara umum memang jumlah test kita harus terus ditingkatkan, untuk mendeteksi mereka yang tidak ada gejala dari kemungkinan sudah terinfeksi Omicron dan berpotensi menulari kerabat di sekitarnya, termasuk kalau ada lansia dan komorbid yang tentu berpotensi sakit lebih serius," katanya.
Baca juga: Satgas COVID-19 pastikan kesiapan fasilitas karantina di Surabaya
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021