Potensi laut berkurang, ancam ekonomi nelayan

31 Desember 2021 21:40 WIB
Potensi laut berkurang, ancam ekonomi nelayan
Seorang nelayan asal Pulau Barrang Caddi Ansar memperlihatkan hasil tangkapan ikannya yang dinilai semakin menurun dari tahun ke tahun di Makassar, Sulsel. ANTARA/Nur Suhra Wardyah
Kekayaan laut dengan ribuan biota di dalamnya mulai berbeda dari tahun ke tahun. Potensi laut yang menjadi tumpuan manusia dalam memenuhi kebutuhan pangan untuk kebutuhan tubuh tidak lagi menunjukkan keberpihakan.

Sejumlah nelayan di pulau-pulau Makassar, Sulawesi Selatan mulai merasakan perubahan potensi laut.

Penghasilan para nelayan kian berkurang karena hasil tangkapan ikan pun kian minim sehingga dipastikan hal tersebut menjadi ancaman bagi perekonomian mereka.

Khususnya bagi nelayan kecil yang tersebar di berbagai gugusan pulau Indonesia, termasuk pada perairan Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satunya ialah nelayan asal Pulau Barrang Caddi, Kecamatan Sangkarrang Makassar bernama Ansar.

Ansar mengemukakan bahwa penghasilan dari laut semakin hari semakin menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurutnya, ada pergeseran atau perubahan yang terjadi di area dirinya mengadu nasib.

Di area tangkapnya, air laut kerap kali terlihat keruh dan dampaknya, nelayan tidak bisa fokus, utamanya dengan sistem tangkap. Sebab ini dipastikan berpengaruh terhadap jarak pandang ikan yang terbatas karena air laut keruh.

Bagi Ansar, kondisi air laut saat ini dinilai tidak lagi jernih seperti sebelumnya. Dugaannya ada penambangan pasir yang melakukan pengerukan menjadi penyebab rendahnya hasil tangkapan warga pulau di Makassar.

“Satu hari bersih lalu sehari kemudian keruh lagi di tengah laut. Jadi bagaimana bisa nelayan fokus melihat karena air di laut tidak bagus,” katanya.

Pendapatan yang fluktuatif menjadi lumrah di kalangan nelayan, tetapi perbedaan hasil tangkap nelayan di pulau itu turun drastis. Kadang hanya bisa menangkap lima ekor, bahkan malah kosong sama sekali.

Jika tahun lalu selalu ada meski kadang sedikit, itu dinilai Ansar masih lebih mending dibanding tahun sekarang, karena pernah tidak ada ikan untuk dijual, tetapi hanya cukup untuk dikonsumsi bersama keluarga.

Kondisi ini kerap dijumpai hampir pada seluruh nelayan yang terdapat di pulau Kota Makassar, seperti Pulau Kodingareng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau Lumu-lumu, Pulau Laikang, Pulau Samalona dan Pulau Gusung Bonetambu.

Keluhan terhadap kondisi air laut yang dinilai sangat keruh dan berdampak pada hasil tangkapan ikan, juga diakui Nasir dari Pulau Barrang Caddi.

Hanya saja, ia berpendapat bahwa keruhnya air laut itu diakibatkan air hujan dari perkotaan yang bermuara ke laut. Fenomena ini dinilai jarang terjadi dan baru dijumpai pada tahun 2021 ini.

"Kalau air laut keruh, pencarian juga tidak bagus, karena yang kita cari ikan dan gurita. Apalagi kondisi ombak besar di awal musim hujan seperti sekarang," ungkap Nasir.

Menurutnya, terjadi perubahan terhadap pergantian musim dari tahun ke tahun. Hal ini diakui sangat berpengaruh pada pola tangkap nelayan di laut lepas, sebab cuaca yang kerap kali berubah-ubah sehingga nelayan ikut mengalami kesulitan melaut.

Intensitas maupun volume hujan dinilai meningkat dari tahun ke tahun, sehingga waktu melaut para nelayan pun semakin berkurang.

Ini menyebabkan waktu menganggur para nelayan semakin meningkat, mereka hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan aktivitas melaut karena hujan kerapkali disertai angin kencang pada musim hujan.

Lebih dari itu, Nasir secara gamblang menyampaikan bahwa perubahan kondisi air laut bukan hanya terjadi pada musim penghujan, namun musim kemarau tahun ini pun dianggap tidaklah sama dari tahun-tahun sebelumnya.

"Kita juga sering menangkap ikan tenggiri tapi nanti musim timur. Kalau dibandingkan musim sekarang dengan yang lalu, masih bagus yang lalu. Sekarang pendapatan di laut makin tahun semakin berkurang," ungkap Nasir.

Baca juga: Kesyahbandaran Makassar imbau nelayan waspadai cuaca ekstrem

Baca juga: Kesyahbandaran Makassar imbau nelayan waspadai cuaca ekstrem

 
Perahu nelayan yang berjejer di perairan Kabupaten Bulukumba, Sulsel. ANTARA/Nur Suhra Wardyah


Alarm pemerintah

Keluhan sejumlah nelayan terhadap keruhnya air laut dan berdampak pada hasil tangkap nelayan menjadi sinyal atau alarm bagi pemerintah bahwa stok pangan dari laut kian menipis, kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Daerah Sulawesi Selatan Muhammad Al Amin.

Fenomena keruhnya air laut pada perairan Makassar, Sulawesi Selatan, hingga curah hujan yang tidak menentu dinilai tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun dipastikan ada penyebabnya.

Kondisi ini dipastikan mengancam keberlanjutan pangan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya yang ada di kota besar seperti Makassar.

"Pernyataan nelayan soal hasil tangkapan yang semakin menurun, kemudian ikan di laut sudah mulai berkurang, itu menunjukkan stok ikan kita sudah mulai menurun drastis dan itu diakui oleh sejumlah ilmuan di Jakarta," ungkap Amin.

Sejumlah peneliti di berbagai kampus menyatakan stok ikan di laut mulai berkurang sejak lima tahun terakhir. Bahkan stok ikan di Indonesia secara keseluruhan telah berada di garis merah.

"Ini berbahaya memang untuk keberlanjutan pangan kita," kata Al Amin.

Fenomena ini dipicu oleh berbagai hal, kata Amin, yakni campur tangan manusia lewat oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, seperti melakukan penangkapan ilegal (ilegal fishing) dengan cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan hingga fenomena krisis iklim yang terjadi.

Kegiatan penangkapan ilegal ini utamanya dengan menggunakan bom ikan yang tidak hanya mematikan ikan, tetapi juga biota laut sekitarnya, seperti terumbu karang dan hewan laut lainnya.

Amin mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menangkap para pelaku ilegal, apalagi tidak ada data pasti berapa banyak kasus yang telah terjadi di perairan laut Sulsel. Namun, bukan tidak mungkin, kata Amin, Pol Airut mengambil langkah tegas bagi para pelaku.

"Sekarang penangkapan ikan ilegal di Kota Makassar itu masih banyak, memang banyak juga nelayan yang sudah berubah haluan tapi masih banyak juga pelaku ilegal itu," ujarnya.

Hanya saja, tidak sedikit dari proses penegakan hukum yang seolah membiarkan aktivitas tangkap ikan secara ilegal itu terus terjadi.

Penegak hukum cenderung seperti tidak berdaya menghadapi pelaku ilegal itu. Informasi dari nelayan kecil di pulau-pulau Makassar menyebutkan, banyak aparat penegak hukum/kepolisian yang mudah dipengaruhi dengan iming iming suap agar meloloskan oknum tersebut.

Baca juga: Kapal TNI dikerahkan untuk sediakan pelayanan vaksinasi bagi nelayan

Baca juga: Mesin kapal mati, Basarnas evakuasi lima nelayan

 
Abrasi yang melanda pesisir Galesong, Kabupaten Takalar akibat tingginya curah hujan pada tahun 2020. ANTARA/Nur Suhra Wardyah


Krisis iklim

Selain campur tangan manusia yang serakah terhadap hasil laut sehingga melakukan perbuatan yang tidak ramah lingkungan untuk meraup untung sebanyak mungkin, krisis iklim juga dinilai menjadi pemicu berkurangnya hasil tangkap nelayan.

Perubahan iklim yang semakin ekstrem dianggap paling berdampak pada nelayan atau yang bekerja di sektor kelautan.
Nelayan dipastikan sangat terganggu dengan perubahan iklim itu karena cuaca yang tidak menentu, kemudian ombak yang tiba-tiba tinggi karena angin juga kencang.

Itu semua akibat dari perubahan iklim di dunia yang tidak bisa dianggap secara alamiah saja, sebab juga terjadi kerusakan lingkungan secara global.

Kerusakan lingkungan yang terjadi secara global ini memicu perubahan siklus iklim yang mengakibatkan terganggunya aktivitas nelayan di pulau-pulau kecil. Alhasil, terjadi kerusakan/penderitaan besar dengan terganggunya aktivitas nelayan di pulau-pulau kecil terutama di Sulawesi Selatan.

Dampaknya kian mengancam perekonomian nelayan yang semakin menurun. Nelayan seperti pengangguran di pulau-pulau kecil, mereka tidak berani melaut dan mencari nafkah bagi keluarganya.

"Apalagi tahun ini kan masih ada La Nina, dan intensitas hujan yang semakin tinggi, angin barat yang sekarang durasinya lama, namun lebih cepat datang ketimbang tahun-tahun kemarin," kata Amin.

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi adanya fenomena La Nina yang mengakibatkan peningkatan curah hujan dari tahun ke tahun, di Sulawesi Selatan, mulai dari tahun 2018 hingga 2021 sekarang.

Kepala Sub Bidang Pelayanan Jasa Balai Besar M&G Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV Makassar Siswanto mengemukakan curah hujan bervariasi di setiap bulan dan dipastikan hal ini berpengaruh pada angin laut, termasuk aktivitas nelayan.

Jika dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya sejak 2018-2020, curah hujan di Kota Makassar lebih tinggi di beberapa bulan pada tahun 2021, utamanya di bulan Januari 2021. Sedangkan di antara empat tahun tersebut, curah hujan di tahun 2019 tercatat lebih rendah terutama di pertengahan sampai akhir tahun 2019.

Pada tahun 2020, terdapat fenomena moderasi La Nina yang mengakibatkan banyaknya bencana di Sulawesi Selatan karena konvektivitas kuat dan RH (kelembaban) berada pada lapisan 700 mb.

"Sejak Januari 2020, terjadi banyak bencana banjir seperti di Kota Parepare, Luwu Raya, Kabupaten Bantaeng, Jeneponto dan Sinjai," ungkapnya.

Fenomena La Nina dan berbagai hal yang mempengaruhi potensi laut diharapkan agar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus bisa membaca kondisi masyarakat saat ini, khususnya mereka yang menggantungkan hidupnya di laut.

Pemerintah tidak hanya membahas dan berbicara soal ekonomi makro seperti penerbitan izin administrasi, namun diharapkan bisa memikirkan bagaimana nelayan bisa bertahan di tengah ancaman krisis iklim yang melanda, menghadapi cuaca ekstrem, namun nelayan tetap produktif untuk keluarganya.

Nelayan ini adalah tumpuan masyarakat dalam pemenuhan pangan, jika nelayan tak mampu melaut maka dampaknya pasti kepada masyarakat luas.*

Baca juga: Satu penumpang KM Tidar yang loncat di perairan Galesong ditemukan

Baca juga: Istri-istri anggota TNI AL di Makassar bagi takjil ke nelayan di laut

Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021