• Beranda
  • Berita
  • Mengenal lima terapi perilaku kognitif untuk atasi insomnia

Mengenal lima terapi perilaku kognitif untuk atasi insomnia

6 Januari 2022 09:50 WIB
Mengenal lima terapi perilaku kognitif untuk atasi insomnia
Ilustrasi gangguan tidur. (Foto oleh cottonbro dari Pexels)
Insomnia adalah salah satu gangguan atau kondisi ketika seseorang mengalami kesulitan untuk tidur dan mempertahankan tidur jangka waktu yang lama. Bahkan pada pengidap insomnia, ia akan merasa kesulitan untuk tidur kembali apabila terbangun di tengah malam.

Penderita insomnia mengalami penurunan kualitas tidur sehingga turut mengganggu aktivitas pada pagi dan siang hari. Insomnia terjadi dalam jangka waktu setidaknya 3 malam per minggu,atau 3 malam per minggu yang berlangsung selama 3 bulan.

Dokter spesialis kejiwaan dr. Lusiana Winata, SpKJ mengatakan kesulitan tidur biasanya berkaitan dengan gangguan mental seperti kecemasan dan depresi, meski dalam beberapa kasus ada pula yang berkaitan dengan penyakit fisik tertentu.

Salah satu prosedur pengobatan insomnia yang diterapkan oleh psikiater adalah terapi perilaku kognitif (CBT). Terapi ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kebiasaan tidur dengan mengidentifikasi, mengubah, dan mempengaruhi pikiran serta perilaku seseorang agar bisa memiliki kualitas tidur yang baik.

Sebelum menjalankan CBT, menurut Lusiana, biasanya psikiater melakukan asesmen dan wawancara kepada pasien guna mengidentifikasi sumber gangguan tidur sebelum menentukan tindakan selanjutnya.

Berikut adalah lima jenis terapi perilaku kognitif untuk mengatasi insomnia.

Baca juga: Kenali indikator tidur yang berkualitas

Baca juga: 10 langkah peroleh tidur sehat dan berkualitas


1. Terapi kognitif

Pada terapi kognitif, pasien akan diberikan edukasi oleh psikiater untuk mengoreksi keyakinan yang tidak akurat mengenai tidur.

“Kadang pasien sudah mau tidur, tetapi takut karena dia pernah tidak bisa tidur. Dia mau tidur tapi sudah khawatir duluan,” ujar Lusiana.

Selain itu, terapi ini juga untuk mengurangi pemikiran katastrofik dan kekhawatiran yang berlebihan tentang konsekuensi dari gagal mendapatkan tidur yang cukup.

2. Terapi relaksasi

Terapi relaksasi terdiri dari beberapa teknik. Dalam relaksasi progresif, pasien diajarkan untuk mengenali dan mengontrol ketegangan yang terjadi pada dirinya melalui serangkaian latihan.

“Kalau mau tidur misalnya dia sudah cemas dan tegang duluan. Lalu kami bantu untuk dia mengenali dan mengontrol tegangnya ada di mana. Kami buat latihan, tegangkan dulu ototnya yang mana, lalu dia kendurkan secara sistematis,” kata Lusiana.

Terapi relaksasi dapat dilakukan dengan cara meditasi atau imagery yang akan mengajarkan pasien bagaimana memusatkan perhatian pada target netral sebagai ganti pikiran yang berkecamuk.

Teknik-teknik ini memiliki keuntungan memberikan umpan balik langsung kepada pasien mengenai tingkat ketegangan mereka dan dengan cepat mengajari mereka cara bersantai.

3. Sleep hygiene 

Sleep hygiene mengacu pada aktivitas dan kebiasaan sehari-hari yang konsisten dengan atau meningkatkan pemeliharaan kualitas tidur yang baik dan kewaspadaan penuh di siang hari.

Sleep hygiene ini misalnya kalau mau tidur, handphone tidak boleh dibawa di kasur, terus lampu sebaiknya gelap, lalu tidak minum yang mengandung kafein misalnya kopi atau teh minimal 6 sampai 8 jam sebelum tidur,” ujar Lusiana.

Selain itu, pasien juga bisa menyalakan aromaterapi agar lebih rileks, membaca buku yang disukai dan dapat menenangkan pikiran, serta relaksasi sebelum tidur dimulai setidaknya 30 menit sebelum tidur.

Baca juga: Akupuntur medik bisa bantu atasi gangguan tidur

4. Terapi stimulus kontrol

Terapi ini untuk mengasosiasikan tempat tidur dengan rasa mengantuk dan bukan aktivitas yang membuat terjaga.

Untuk menjalankan terapi ini, pasien harus menerapkan kebiasaan, seperti gunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan aktivitas seksual, serta tidak membaca, menonton televisi, makan, atau bekerja di tempat tidur.

Jika tidak dapat tertidur dalam waktu 15–20 menit, maka pasien disarankan bangun dari tempat tidur untuk melakukan sesuatu yang membuat rileks hingga mengantuk. Cara ini dapat diulang sesering yang diperlukan.

Selain itu, pasien tidak diperkenankan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tempat tidur daripada yang dibutuhkan dengan menetapkan waktu bangun standar.

5. Terapi sleep-restriction

Terapi sleep-restriction atau pembatasan tidur didasarkan pada fakta bahwa waktu yang berlebihan di tempat tidur seringkali memperburuk insomnia.

Membatasi waktu yang dihabiskan di tempat tidur dapat mengarahkan pada perilaku tidur yang lebih efisien dan teratur serta dapat diprediksi.

Ketika pasien telah menunjukkan kemampuan yang berkelanjutan untuk tidur, maka waktu di tempat tidur diperbolehkan untuk meningkat.

Selama menjalankan salah satu atau kelima terapi perilaku tersebut, Lusiana juga menyarankan agar penderita insomnia melakukan olahraga yang dapat membuat tubuh rileks secara rutin.

“Kalau saran saya, olahraga yang oke itu yoga. Di dalam yoga itu juga terdapat relaksasi dan meditasi, itu dapat dua-duanya. Beberapa orang yang tidak pernah melakukan meditasi, buat mereka meditasi itu sulit sekali. Yoga itu tingkat kesulitannya di bawah meditasi,” kata Lusiana.

Selain itu, ia juga menyarankan penderita insomnia menjalankan mindful walking atau berjalan kaki secara rutin di sekitar rumah sambil melakukan relaksasi pikiran. Di dalam mindful walking, kata Lusiana, juga terdapat meditasi yang membantu pikiran lebih tenang.

“Jalan kaki itu juga ada meditasinya kalau kita mau. Saat jalan kaki ada yang namanya mindful, dengan catatan tidak bawa hp. Bisa perhatikan lingkungan sekitar, ada hal-hal yang sering kita tidak sadari karena selama ini terlalu sibuk dengan handphone. Mindful walking itu sangat bagus,” ujar Lusiana.

Kesehatan mental tidak hanya akan mempengaruhi pikiran dan perasaan, namun juga kondisi fisik seseorang salah satunya adalah kemampuan untuk tidur. Oleh sebab itu, tidak ada salahnya bila Anda mencoba salah satu atau beberapa terapi perilaku kognitif di atas yang Anda rasa cocok, meskipun Anda merasa bahwa kondisi mental Anda sedang baik-baik saja.

Baca juga: Penanganan "sleep apnea" yang tepat dapat cegah risiko sakit jantung

Baca juga: Gangguan tidur pada lansia bisa sebabkan depresi

Baca juga: Mengenal "coronasomnia", gangguan tidur saat pandemi

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022