"Tidak ada satu bangsa yang bisa `survive` tanpa kecukupan pangan, sudah banyak kejadian di mana pangan sangat terbatas, harga pangan meningkat, terjadi ketidakstabilan politik, berarti kita harus memastikan produksi pangan kita baik," katanya di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Disela Dialog Kebijakan Sistem Informasi Ketahanan Pangan yang diselenggarakan The Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies (ICASEPS) dan The International Food Policy Research Institute (IFPRI) itu, ia mengatakan, tidak hanya itu, bahkan Indonesia harus mampu berkontribusi supaya produksi pangan surplus.
"Dan bisa melayani minimal kawasan ASEAN, dan itu sudah dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada `ASEAN Summit` lalu," katanya.
Jadi, kata dia, kontribusi Indonesia adalah menjadi lumbung pangan dunia dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek dan menengah adalah minimal menjadi lumbung pangan penting di ASEAN tersebut.
Menjawab pertanyaan mengenai pembangunan pertanian di masa Orde Baru semasa pemerintahan Soeharto yang bisa swasembada, sedangkan saat ini ada permasalahan dengan keamanan pangan, Hermanto Siregar menyatakan bahwa konteksnya berbeda.
Ia mengemukakan, kalau dilihat dari jumlah penduduk, saat itu masih sedikit, dan waktu itu tidak ada problematika mengenai perubahan iklim.
Demikian pula dengan daya beli yang tentu berbeda dengan sekarang, di mana saat itu lebih rendah sehigga memprioritaskan kecukupan pangan sangat penting.
"Belakangan, konstelasinya berubah, banyak ketidakpastian akibat perubahan iklim," kata anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) yang tugasnya membantu presiden itu.
Karena itu, menurut dia, kini harus memastikan kecukupan pangan karena jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 238 juta.
Menurut dia, dalam dua dekade (20 tahun) terakhir, ada kenaikan jumlah penduduk 60 juta di Indonesia, kira-kira tiga kali penduduk Australia dan dua kali penduduk Malaysia.
"Jumlah ini `kan yang harus diberi makan semua, sehingga kita harus memastikan produksi kita cukup," katanya menegaskan.
Tidak cukup itu, kata dia, karena perubahan iklim sifatnya global, banyak negara lain yang basis produksi pangannya kurang dan pas-pasan menjadi sangat kekurangan.
Indonesia, kata dia, sebenarnya mesti melihat kondisi ini sebagai potensi dan peluang. "Karena kalau kita mampu memproduksi banyak dan surplus, pasti ada yang beli," katanya.
Ia menambahkan bahwa 2011 adalah masa-masa ketidakmenentuan karena perubahan iklim yang berarti harganya bagus, dan pemasukan negara tinggi, yang pada gilirannya petani dapat lebih sejahtera.
"Jadi, perhatian kembali mengenai `food security` ini saya kira sangat tepat," katanya.
(A035/N002)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011