"Kami masih menemukan adanya pelanggaran protokol kesehatan. Banyak siswa berkerumun saat pengecekan suhu setiba di sekolah. Ini terjadi karena sekolah tidak memiliki thermogun (dalam jumlah) memadai," kata Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri di Jakarta, Rabu.
P2G juga menerima laporan mengenai beberapa kekurangan dalam penerapan protokol pencegahan COVID-19 di sekolah, termasuk dalam pengaturan jarak antar-siswa di ruang kelas, penggunaan ruang dengan ventilasi udara baik, dan penggunaan aplikasi PeduliLindungi.
"Satu SMP di Kepulauan Riau mengalami kesulitan dalam melakukan scan barcode PeduliLindungi saat masuk sekolah. Akhirnya, karena menghindari kerumunan, beberapa anak masuk sekolah tanpa melakukan scan," kata Iman.
"Selain itu, untuk kebutuhan scan barcode anak-anak membawa HP. Ternyata mereka main media sosial di dalam kelas tanpa menggunakan masker. Nah, hal-hal semacam ini perlu dievaluasi," ia menambahkan.
P2G menerima laporan mengenai pelanggaran protokol kesehatan selama pembelajaran tatap muka penuh di Jakarta, Pandeglang, Cilegon, Bogor, Bengkulu, Agam, Solok Selatan, Situbondo, dan Bima.
Menurut laporan yang diterima P2G, pelanggaran yang dilakukan antara lain berkenaan dengan pembukaan kantin sekolah. Ada sekolah yang diam-diam membuka kantin dengan alasan tidak semua siswa bisa membawa bekal makanan dari rumah meskipun menurut peraturan pemerintah kantin sekolah belum boleh dibuka.
Selain itu, menurut Iman, ada sekolah yang melaksanakan kegiatan yang bisa menimbulkan kerumunan.
"SD di Banyuwangi mengadakan upacara bendera dan beberapa anak pingsan, kebanyakan karena sudah lama tidak upacara dan tidak sempat sarapan. Upacara bendera memang tidak dilarang, tapi potensi kerumunannya tinggi," katanya.
P2G menyarankan pemerintah melaksanakan pembelajaran tatap muka secara bertahap.
Pembelajaran tatap muka penuh hanya dilaksanakan di sekolah-sekolah yang sudah siap dengan sarana dan prasarana pendukung protokol kesehatan dan sekolah-sekolah lain bisa melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan batasan tertentu sesuai dengan tingkat kesiapan.
"Intinya evaluasi komprehensif secara berkala. Misal, 50 persen dulu, dua minggu berikutnya naik 75 persen, dua minggu berikutnya kalau evaluasinya aman, tidak ada klaster, warga sekolah taat dengan prokes, baru bisa 100 persen," kata Iman.
P2G khawatir pelaksanaan PTM 100 persen secara terburu-buru akan menimbulkan peningkatan kasus penularan COVID-19.
Menurut P2G, pemerintah daerah yang memutuskan untuk menunda pelaksanaan PTM 100 persen telah mengambil langkah yang tepat pada masa persebaran varian baru virus penyebab COVID-19 seperti sekarang.
Baca juga:
DKI Jakarta lanjutkan PTM 100 persen
PTM 100 persen di Kota Bandung digelar dengan protokol ketat
Pewarta: Indriani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2022