Didiek dalam webinar mengenai impor daging yang diselenggarakan oleh Pataka yang dipantau di Jakarta, Kamis, mengatakan impor sapi bakalan bisa menggerakkan ekonomi di usaha penggemukan sapi sementara impor daging beku hanya akan dijual langsung kepada konsumen.
Didiek mencontohkan jika dilakukan impor 100 kg daging maka hanya akan menyediakan 100 kg daging untuk dikonsumsi. Sementara jika impor sapi bakalan seberat 300 kg yang jika dikonversikan menjadi daging seberat 100 kg bisa menghasilkan sapi seberat 476 kg atau setara daging 167 kg dalam 90 sampai 120 hari.
Dalam proses penggemukan selama 90 sampai 120 hari tersebut, diperlukan pangan lokal berupa tumbuhan hijau, konsentrat, limbah pertanian, dan mineral yang diproduksi di dalam negeri.
Selain itu, sapi bakalan yang telah digemukkan juga bisa menghasilkan produk sampingan lain berupa jeroan, lemak, tulang untuk bahan baku sejumlah masakan dan juga menghasilkan kompos dari kotoran sapi.
"Beda dengan daging beku, impor 20 ribu ton, ya cuma 20 ribu ton, tidak ada peningkatan apa-apa, tidak ada multiplier efek di situ, tidak ada proses produksi, tidak ada keterlibatan banyak orang," kata Didiek.
Gapuspindo membuat prognosa daging sapi tahun 2022 yang diperkirakan masih akan minus 290 ribu ton. Hal itu didapatkan dari estimasi kebutuhan sebanyak 706 ribu ton sementara produksi lokal hanya 415 ribu ton.
Dengan begitu diperlukan importasi sapi bakalan sebanyak 625 ribu ekor yang setara dengan 119.806 ton daging serta tambahan impor daging sebanyak 170.652 ton untuk memenuhi defisit tersebut.
Didiek menyebutkan bahwa defisit daging sapi secara nasional terus meningkat sejak 2016 yang sebesar 250 ribu ton menjadi paling tinggi 294 ribu ton pada tahun 2020 dan kembali menurun menjadi 270 ribu ton pada 2021.
Baca juga: Dharma Jaya berencana impor 2.500 ton daging sapi hingga April 2022
Baca juga: China, Filipina tangguhkan impor daging sapi dari Kanada karena BSE
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2022