"Sejumlah strategi kebijakan Indonesia dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau yang pertama adalah melalui pembangunan rendah karbon, sebagaimana yang tertuang di dalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang kami," kata Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Kamis.
Presiden Jokowi menyampaikan hal tersebut dalam acara "World Economic Forum: State of the World Address" secara virtual yang dipandu oleh Executive Chairman World Economic Forum Klaus Schwab.
"Yang kedua kebijakan 'net zero emission' dimana diterbitkannya peta jalan untuk mencapai 'zero emission' pada 2060 termasuk 'net sink' (penyerapan bersih karbon) sektor kehutanan dan lahan di 2030," ungkap Presiden.
Strategi ketiga adalah memberikan sejumlah stimulus hijau untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau.
"Upaya konservasi dan restorasi lingkungan melihat dari angka-angkanya cukup berhasil dalam beberapa tahun terakhir ini. laju deforestasi turun signifikan sampai ke 75 persen pada periode tahun 2019-2020 di angka 115.000 hektare," tambah Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi menyebutkan kebakaran hutan juga turun drastis yang ditunjukkan dengan berkurangnya titik api (hot spot) yang pada 2014 adalah 89 ribu titik kemudian pada tahun 2021 hanya 1.300 titik.
Baca juga: Presiden Jokowi paparkan strategi capai ekonomi hijau
Selanjutnya luas lahan yang terbakar pada 2014 mencapai 1,7 juta hektare dan pada 2021 sudah jauh berkurang, yaitu seluas 229 ribu hektare.
Kemudian restorasi lahan gambut juga berjalan dengan baik dari 2016-2021 yaitu seluas 3,7 juta. Selain itu, rehabilitasi mangrove juga dilakukan secara besar-besaran misalnya pada 2020-2021 sudah dilakukan rehabilitasi 50 ribu hektare hutan mangrove dengan target hingga 2024 adalah 600 ribu hektare mangrove untuk direhabilitasi.
"Saya kira ini terluas di dunia dengan daya serap karbon 4 kali lipat dibandingkan hutan tropis, bahkan dengan below ground mangrove dapat capai 10-12 kali lipat," ungkap Presiden.
Masih ada juga skema pembiayaan konservasi dan restorasi yang telah disiapkan pemerintah yaitu pendirian badan pengelola dana lingkungan hidup.
"Yang ini mengolah dan lingkungan hidup bersumber dari dalam dan dari luar negeri yang dengan prinsip berkelanjutan kredibel dan akuntabel," tambah Presiden.
Strategi lain adalah penerbitan "green sukuk" yaitu skema pembiayaan inovatif untuk pembiayaan agenda pembangunan yang ramah lingkungan dan juga penerbitan "government bond" dengan kategori "enviromental, social and governance" demi memperluas basis investasi yang berbasis lingkungan dan tanggung jawab sosial.
"Pengembangan mekanisme nilai ekonomi karbon sebagai insentif bagi pihak swasta dalam mencapai penurunan emisi juga kita lakukan. Penerapan 'budget packing' untuk anggaran iklim pada APBN dan menerapkan pajak karbon dalam menangani perubahan iklim," jelas Presiden.
Indonesia, menurut Presiden Jokowi, berpotensi menjadi "global market leaders" dalam skema perdagangan karbon dunia bahkan diprediksi mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon di Peru, Kenya dan Brazil sebagai sesama negara yang memiliki luas hutan tropis terbesar di dunia.
Baca juga: Jokowi ingin fokus kerja sama dengan Inggris di sektor ekonomi hijau
Presiden Jokowi mengungkapkan pembentukan harga karbon di Indonesia juga relatif bersaing dibandingkan negara pionir perdagangan karbon lainnya di dunia seperti Brazil, Peru. dan India.
"Indonesia telah memiliki beberapa proyek percontohan seperti 'Redd+dengan skema 'Results Based Payment', 'green climate fund', 'forest carbon partnership facilty' dan 'bio carbon fund' dengan nilai komitmen sekitar 73,8 juta dolar AS," ungkap presiden.
Presiden Jokowi kembali menegaskan komitmen Indonesia dalam COP26 di Glasgow pada 2021 lalu yaitu Indonesia akan memulai transisi ke energi ramah lingkungan.
"Tapi transisi energi memerlukan pembiayaan dan pendanaan yang sangat besar dan akses terhadap teknologi hijau. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, harus didukung teknologi dan didukung dengan pendanaan agar tidak terlalu membebani masyarakat, terlalu membebani keuangan negara, terlalu membebani industri," jelas presiden.
Presiden Jokowi menyebut Indonesia membutuhkan 50 miliar dolar AS untuk melakukan transformasi menuju ke energi baru terbarukan dan butuh 37 miliar dolar AS untuk sektor kehutanan guna lahan dan karbon laut.
"Indonesia dan negara berkembang meminta kontribusi negara maju untuk pembiayaan dan transfer teknologi. Sumber pendanaan dan alih teknologi akan jadi 'game changer' pengembangan skema pendanaan inovatif harus dilakukan," ungkap presiden.
Presiden Jokowi meminta adanya bukti kerja sama antara negara berkembang dengan negara-negara maju.
"Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, pemerintah perlu bekerja sama secara domestik, bekerja sama secara global. Bekerja sama di dalam negeri pemerintah bekerjasama dengan BUMN energi dan pihak swasta untuk mendesain transisi energi yang adil dan terjangkau, kerja sama di tingkat internasional juga telah dimulai dengan ADB melalui mekanisme transisi energi dari batubara ke energi baru terbarukan dan yang paling penting bagaimana dua hal yaitu teknologi, pendanaan menjadi kunci," tegas presiden.
Baca juga: Jokowi: ASEAN-Korea miliki potensi besar ekonomi hijau dan digital
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022