• Beranda
  • Berita
  • Lima hari isolasi akibat Omicron dianggap masih kurang

Lima hari isolasi akibat Omicron dianggap masih kurang

21 Januari 2022 10:24 WIB
Lima hari isolasi akibat Omicron dianggap masih kurang
Ilustrasi (Pixabay)
Sebelum Omicron hadir, orang-orang khususnya di Inggris dengan gejala COVID-19 harus mengisolasi diri selama sepuluh hari. Tetapi ketika varian baru ini muncul, pejabat kesehatan mengubah periode isolasi diri.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) mengubah periode isolasi diri menjadi lima hari. Sementara di Inggris, mulai 17 Januari 2022, berlaku aturan orang-orang dapat meninggalkan isolasi setelah dua hasil menunjukkan negatif dari hari kelima. Aturannya sama terlepas dari status vaksin.

Baca juga: Sejumlah negara pertimbangkan isolasi, pengujian saat Omicron menyebar

Melihat ini, pakar mikrobiologi medis di University of East London, Sally Cutler kepada The Conversation berpendapat, hanya ada sedikit bukti ilmiah untuk membenarkan mengurangi masa isolasi ini.

"Beberapa berpendapat Omicron ringan dan tidak mengakibatkan lonjakan rawat inap, tetapi harus diingat gelombang kasus menyapu populasi dengan tingkat perlindungan yang cukup besar dari kombinasi infeksi alami dan kekebalan yang diinduksi vaksinasi," kata dia seperti dikutip dari Medical Daily, Jumat.

Culter menyebutkan, sebuah tinjauan sistematis komprehensif berbasis di Inggris terhadap 79 makalah dari seluruh dunia (tidak termasuk yang memiliki jumlah kasus sangat rendah) meninjau pelepasan virus dari 5.340 orang yang terinfeksi.

Tinjauan ini mengevaluasi tidak hanya viral load melalui pengujian PCR, yang dapat tetap positif untuk beberapa waktu setelah pemulihan klinis, tetapi juga kemampuan untuk bertumbuhnya virus.

Hasilnya, viral load ditemukan dalam jumlah yang rendah dalam beberapa hari pertama, tetapi kemudian mencapai puncaknya sekitar hari ketiga hingga enam. Kemudian, menurun pada hari ketujuh hingga sembilan sampai tidak ada virus yang dapat dipulihkan pada hari kesepuluh.

"Dengan kata lain, data mendukung periode isolasi sepuluh hari," tutur Cutler.

Beberapa penelitian telah menyarankan periode pelepasan virus yang sedikit lebih pendek pada orang tanpa gejala, tetapi menurut Cutler, keputusan tentang kebijakan harus didasarkan pada semua infeksi bukan hanya sebagian.

Sebuah studi dari Jepang yang belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah memperlihatkan pelepasan virus yang dikaitkan dengan Omicron paling tinggi pada tiga hingga enam hari setelah dimulainya gejala.

Kemudian, satu penelitian kecil dari University of Exeter menemukan, satu dari tiga orang masih berpotensi menularkan setelah lima hari.

"Bukti menunjukkan pada hari kelima banyak orang masih akan mengeluarkan virus yang berpotensi mengakibatkan penyebaran COVID-19 selanjutnya," tutur Cutler.

Dia menegaskan, pemberlakuan masa isolasi menjadi lima hari berisiko melepaskan orang terinfeksi kembali ke masyarakat pada waktu puncak penyebaran virus menular. Ini sangat berbahaya bagi orang-orang di sekitar mereka.

"Orang ingin merasa aman ketika mereka pergi keluar, mengetahui orang lain dites dengan benar dan mengisolasi diri sampai mereka tidak lagi menjadi risiko bagi orang lain," demikian kata Cutler.



Baca juga: Inggris berencana cabut kewajiban isolasi mandiri COVID-19

Baca juga: Puncak gelombang Omicron di Indonesia diperkirakan awal Februari

Baca juga: Kapasitas tempat tidur pasien COVID-19 di DKI jadi sembilan persen

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022