"Perjanjian ini bermanfaat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana yang bersifat lintas batas negara seperti korupsi, narkotika dan terorisme," kata Menkumham Yasonna H Laoly melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Yasonna mengatakan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkan) selama 18 tahun ke belakang.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal kadaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
"Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura," kata Guru Besar Ilmu Kriminologi di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian tersebut.
Baca juga: Indonesia-Singapura sepakati perjanjian ekstradisi
Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut perjanjian ekstradisi tersebut di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura akhirnya ditandatangani setelah mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998. Sebagai tambahan informasi, berikut lini masa perjanjian ekstradisi antara kedua negara.
Upaya pembentukan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura telah mulai diupayakan oleh Indonesia sejak 1998 dalam setiap kesempatan, baik dalam pertemuan bilateral maupun regional dengan pemerintah Singapura.
Pada 16 Desember 2002, di Istana Bogor, Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Thong melakukan pertemuan bilateral guna membahas hal terkait pengembangan kerja sama kedua negara di segala bidang.
Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah tercapainya kesepakatan bahwa Indonesia dan Singapura akan menyusun rencana aksi pembentukan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura.
Baca juga: Singapura tanggapi artikel tentang perjanjian ekstradisi
Pada 27 April 2007, bertempat di Istana Tampaksiring, Bali, Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda dan Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo menandatangani perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura yang disaksikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura yang ditandatangani pada 2007 tersebut tidak dapat diberlakukan oleh kedua negara karena pemerintah Indonesia dan Singapura belum meratifikasi perjanjian tersebut.
Selanjutnya, pada 8 Oktober 2019 digelar Leaders' Retreat Indonesia dan Singapura guna membahas kembali tentang persetujuan penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia dan Singapura (Realignment Flight Information Region/FIR) dan perjanjian kerja sama keamanan.
Leaders' Retreat adalah pertemuan tahunan antara Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Singapura guna membahas kerja sama yang saling menguntungkan antara kedua negara.
Menindaklanjuti hasil Leaders' Retreat 2019, Menkumham RI kemudian mengusulkan agar perjanjian ekstradisi yang sejak awal diparalelkan dengan perjanjian kerja sama keamanan kembali dibahas.
Setelah melakukan korespondensi, konsultasi dan perundingan pada 22 Oktober 2021, pemerintah Singapura menerima usulan Indonesia. Akhirnya, perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura ditandatangani di Bintan, Kepulauan Riau pada 25 Januari 2022.
Baca juga: Singapura klarifikasi soal perjanjian ekstradisi dengan RI
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022