Menurut Dwikorita dalam acara diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Rabu, BMKG tidak mampu memantau sinyal gempa gunung api, dan pemantauan dilakukan di bawah kewenangan Badan Geologi.
Sehingga, katanya, BMKG tidak dapat memberikan peringatan dini saat terjadi gempa dan tsunami di Selat Sunda, yang seringkali terjadi karena letusan Gunung Krakatau.
"Saat terjadi di Selat Sunda, BMKG tidak mengeluarkan peringatan dini, karena alat-alatnya tidak dirancang untuk mendeteksi letusan gunung api," ujar dia.
Belajar dari kejadian tersebut, BMKG bekerja sama dengan Badan Geologi atau Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), agar sinyal gempa letusan gunung api dapat masuk pada peladen miliknya.
Dwikorita juga mengatakan kedepannya pihaknya menunggu inovasi dari Badan Pengkajian dan Penerapan teknologi (BPPT) mengenai buoy yang tidak hanya terapung, namun juga terhubung dengan sensor di dasar laut.
Jika eksperimen tersebut berhasil, katanya, maka data dari buoy akan dapat masuk ke peladen BMKG, yang akan memperkuat sistem pemantauan dan peringatan dini tsunami.
Sementara di Indonesia, katanya, terdapat sembilan gunung api di dasar laut yang berpotensi meletus. Data pada satu gunung api, kata Dwikorita, telah terhubung dengan BMKG.
"Perlu proses untuk semua bisa dikoneksikan, kalau erupsi terjadi, BMKG tidak bisa mengontrol. Sehingga pusat vulkanologi nanti berupaya, kami secara manual berkomunikasi," ujar Dwikorita.
Menurut dia, hal tersebut adalah tantangan yang harus dijawab guna menciptakan manajemen kebencanaan terpadu, sembari bekerja sama dengan antarlembaga.
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022