Ketua Kelompok Kerja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menyarankan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam membuat sebuah narasi sosialisasi COVID-19 yang akan diberikan pada masyarakat.
“Hati-hati dengan narasi! Masyarakat kita ini heterogen sekali, jadi komunikasi efektif itu sangat penting,” kata Erlina dalam webinar Lokapala 3.0 bertajuk “Habis Gelap Terbitkah Terang?” yang diikuti di Jakarta, Kamis.
Erlina menuturkan pemerintah harus mencari cara agar informasi seputar COVID-19 dapat dikomunikasikan secara efektif kepada masyarakat Indonesia ang berasal dari berbagai macam latar belakang yang berbeda.
Baca juga: Menkes: Penanganan gelombang Omicron berbeda dengan Delta
Hal tersebut perlu dilakukan karena terdapat sejumlah masyarakat salah menafsirkan beberapa informasi yang diberikan oleh pemerintah.
Sebagai contoh pada saat pemerintah menyatakan bahwa sebagian besar pasien Omicron yang ditemukan di Indonesia adalah orang yang sudah divaksinasi lengkap, terdapat masyarakat yang menganggap bahwa lebih baik tidak divaksin lengkap dibanding terpapar varian baru tersebut.
Bahkan parahnya, terdapat pula pihak yang beranggapan lebih baik tidak divaksinasi agar terhindar dari Omicron.
“Ini salah satu narasi yang menimbulkan miss understanding. Jadi hati-hati dengan narasi,” tegas dia.
Sama halnya dengan sosialisasi mengenai vaksinasi. Pemerintah cederung lebih sering mengatakan vaksinasi merupakan bentuk pencegahan dari COVID-19, sehingga masyarakat menjadi abai terhadap protokol kesehatan setelah mendapatkan vaksin.
Menurutnya, pemerintah seharusnya turut menegaskan bila vaksinasi merupakan salah satu bentuk pencegahan yang dapat mengurangi gejala tak bisa berdiri sendiri bila tidak dibarengi disiplin protokol kesehatan.
Baca juga: PDPI: COVID-19 jadi 'flu biasa' saat kepatuhan prokes bersifat umum
“Kadang orang melihat terpisah-pisah, jadi penting sekali edukasi, edukasi dan edukasi. Baik kepada pemerintah dan stakeholder lainnya yang berperan,” kata dia.
Selain itu, Erlina juga menyoroti bahwa pemerintah seringkali membuat kebijakan saat atau sesudah situasi COVID-19 menjadi sulit untuk dikendalikan. Seperti mengenai Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang harus dievaluasi.
Sebab, bila melihat kondisi saat ini, terdapat sekitar 90 sekolah yang sudah ditutup karena adanya penularan COVID-19, sedangkan PTM tak dihentikan ataupun dievaluasi dan dinilai bisa membahayakan anak-anak.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah untuk mendengar saran dari para ahli dan belajar agar tak kalah dari pergerakan virus yang dapat berubah dengan cepat dan dinamis.
“Ini menjadi satu masalah, pemerintah sering melakukan antisipasi kalau agak telat sedikit. Bukan antisipasi namanya, itu dari awal dari tahun 2020 kami organisasi profesi selalu rewel, tapi kalau sudah kejadian baru diundang membicarakannya itulah salah satu kelemahan pemerintah,” tegas dia.
Baca juga: PDPI serukan setiap individu jadi agen edukasi penanggulangan Omicron
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022