Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu mengharapkan kebijakan meningkatkan standar permodalan fintech lending dari Rp2,5 miliar menjadi Rp10 miliar tidak sampai menghambat gerakan penyebaran inklusi keuangan di tengah masyarakat.Selama ini fintech melengkapi peran lembaga keuangan formal yang belum mampu menjangkau masyarakat secara luas.
"Selama ini fintech melengkapi peran lembaga keuangan formal yang belum mampu menjangkau masyarakat secara luas," kata Thomas Dewaranu di Jakarta, Jumat.
Dengan kata lain, menurut dia, fintech membantu sehingga jangan sampai penambahan standar permodalan ini berdampak negatif pada tingkat inklusi keuangan.
Baca juga: Kemenkeu: Fintech berperan penting edukasi masyarakat soal investasi
Untuk itu, ia menginginkan pemerintah dapat melihat berbagai faktor dan aspek lain dalam mengukur kinerja fintech. "Selain permasalahan modal, ada juga permasalahan risiko di penyaluran," katanya.
Kebijakan standar permodalan tersebut akan berlaku bagi pemain-pemain baru yang akan mengajukan izin saat moratorium sudah dicabut. Sementara itu, fintech yang sudah mendapatkan izin akan dikenai ketentuan minimum ekuitas secara bertahap selama jangka waktu tertentu.
Ia berpendapat bahwa kalau tujuan utama dari peningkatan modal minimum perusahaan fintech adalah untuk mengurangi risiko kegagalan, perlu dilihat dulu apa yang membuat mereka gagal, karena selain masalah modal ada beberapa masalah lain yang menyebabkan fintech lending mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnisnya.
"Sistem credit scoring di Indonesia belum cukup kuat dan komprehensif sehingga perusahaan P2P lending dan investor ritel dihadapkan pada risiko yang besar ketika menyalurkan dana ke peminjam," katanya.
Pemerintah, lanjut Thomas, perlu mendukung pertumbuhan fintech lewat kebijakan yang fokus untuk menahan laju tingkat risiko kredit bermasalah dan mendukung perluasan akses kredit dan pembiayaan karena fintech berperan penting dalam percepatan inklusi keuangan.
Baca juga: OJK sebut pinjaman fintech tumbuh 68,15 persen di 2021
Peran fintech, menurut dia, menjadi semakin penting di masa pandemi karena penerapan kebijakan pembatasan sosial dan ada desakan kebutuhan dana dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pandemi.
Sebelumnya Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) berperan penting untuk mengedukasi masyarakat terkait investasi aman.
"Peran fintech seperti Bareksa dalam mengedukasi masyarakat dan menawarkan produk investasi yang aman sangat penting. Hal ini sejalan dengan tujuan DJPPR meluncurkan e-SBN yakni mengubah paradigma masyarakat dari yang sebelumnya hanya sekedar saving society, sekadar menabung, menjadi masyarakat yang punya kesadaran berinvestasi (investment society)," kata Deni dalam keterangan resmi, di Jakarta, Jumat (21/1).
Dengan peluncuran e-SBN pada 2018, pemerintah terutama menyasar generasi muda, yaitu generasi milenial dan generasi Z, yang terbiasa dengan kemudahan dan kecepatan dari penggunaan gadget dan internet untuk berinvestasi di SBN.
Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah meyakini teknologi finansial atau (financial technology/fintech) akan semakin berperan dalam upaya meningkatkan akses keuangan dan kemandirian finansial bagi masyarakat.
"Kami optimistis bahwa pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dalam industri jasa keuangan, khususnya fintech, akan memberikan nilai tambah dalam meningkatkan akses keuangan dan kemandirian finansial masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu mewujudkan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.
Chairwoman Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) Asih Karnengsih mengatakan belakangan ini, Bitcoin, kripto, decentralized finance serta non fungible token atau NFT juga memberikan kontribusi saat pandemi.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2022