Banjir menjadi persoalan khas perkotaan, bukan hanya terjadi di Kota Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan tapi juga kota-kota lain di Indonesia.Pemerintah kota juga tidak memiliki konsep besar untuk menanggulangi banjir
Pengelolaan tata ruang perkotaan yang serampangan, penggunaan areal serapan air yang masif untuk pemukiman, hingga perambahan hutan di kawasan hulu sungai ditengarai menjadi penyebab melemahnya daya dukung lingkungan ketika terjadinya hujan deras.
Kota Palembang sudah dua kali mengalami banjir yang masuk kategori parah, yang cukup melumpuhkan aktivitas warga setempat yakni pada 25 Desember 2021 dan 17 Januari 2022.
Sejumlah kawasan terendam air, mulai pusat kota hingga areal pemukiman warga. Tak tanggung-tanggung, ketinggian air mencapai 1 meter hingga 1,5 meter.
Soimah, warga Padat Karya, Kelurahan Sungai Selincah, Kecamatan Kalidoni, mengatakan banjir pada 25 Desember 2021 itu menjadi yang terparah selama ia bermukim di kawasan tersebut.
Lokasi pemukimannya berada dekat bantaran sungai sehingga cukup rentan mengalami banjir. Apalagi ketika itu hujan mengguyur hampir lima jam.
“Biasanya air di luar rumah saja, ini masuk rumah sampai setengah meter,” kata dia.
Air mulai surut ketika pemerintah kota menurunkan alat berat untuk membersihkan anak sungai yang berada di belakang pemukimannya.
Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan banjir di Kota Palembang terjadi dikarenakan Sungai Musi tak mampu lagi menampung air yang masuk dengan debit tinggi.
Saat hujan deras, air sungai meluap sehingga tidak dapat lagi menampung air dari daratan. Sisi hulu Sungai Musi dengan panjang 750 kilometer ini berada di Kepahiang, Bengkulu, sedangkan sisi hilir di Kota Palembang.
Keadaan ini semakin parah, jika hujan deras itu terjadi di waktu pasang. Walau durasi hujan hanya 1-2 jam, hal ini sudah bisa menyebabkan banjir di Palembang.
Pemkot Palembang bukannya tak berupaya untuk mengatasi banjir yang rutin terjadi setiap tahun ini.
Setiap tahun dilakukan penambahan kolam retensi, terutama di lokasi yang rawan banjir. Namun, keberadaan sekitar 42 kolam retensi di Kota Palembang itu juga relatif tidak membantu jika hujan dengan intensitas tinggi terjadi.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat pada 25 Desember 2021, curah hujan mencapai 160 mm/24 jam atau setara dengan volume hujan rata-rata untuk satu bulan.
Balai Besar Wilayah Sungai Sumatera menilai setidaknya dibutuhkan 120 kolam retensi di Palembang mengingat daerah ini memiliki tipografi hingga 70 persen merupakan kawasan rawa.
Bukan hanya kolam retensi, keberadaan pompa air yang menggunakan sistem pompanisasi juga kurang membantu di saat cuaca ekstrem itu melanda. Muka air Sungai Musi sudah di atas muka air di daratan Kota Palembang.
Dengan kondisi ini, Wali Kota Palembang Harnojoyo mengimbau warga untuk memastikan aliran air tidak tersumbat, mulai dari drainase di tiap-tiap rumah hingga jalan utama. Serta yang tak kalah penting yakni aliran anak Sungai Musi yang harus tanpa sampah.
“Warga harus peduli. Jangan pula selokannya tersumbat, jadi tambah parah karena air tidak mengalir. Sungainya sudah penuh, ditambah pula air dari langit, itulah jadi banjir,” kata Harnojoyo.
Untuk itu, Pemkot terus menggalakkan gerakan bersih-bersih sungai setiap akhir pekan dengan mengajak warga dan komunitas pencinta sungai Palembang.
Ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan Anita Noeringhati menyarankan Pemerintah Kota Palembang untuk terus memperbanyak kolam retensi dalam upaya penanganan banjir. Setidaknya upaya ini membuat banjir di Palembang itu tidak terlalu parah.
Selain itu, DPRD Sumsel juga mengharapkan Pemkot Palembang melahirkan terobosan-terobosan baru agar persoalan banjir ini segera teratasi.
Pemkot sudah berupaya dengan membangun Pompa Pengendali Pengendali Banjir Sub DAS Bendung, tapi infrastruktur ini kurang optimal kegunaan di saat muka air sungai lebih tinggi dari daratan.
“Ya airnya kembali lagi jika dipompakan ke sungai. Untuk itu kami minta Pemkot membuat terobosan baru,” kata dia.
Selain itu, DPRD Sumsel juga mengingatkan Pemkot Palembang untuk memberikan perhatian untuk menambah daerah resapan air hingga mempertahan ruang terbuka hijau serta mengawasi pengalihfungsian lahan.
Baca juga: Forum DAS dorong pengelolaan lingkungan terpadu antarprovinsi
Baca juga: Forum DAS Sumsel ingatkan pemerintah merestorasi hulu sungai
Pintu Air
Selain pompa dan kolam retensi sebenarnya usaha untuk mengatasi banjir di Palembang dapat dilakukan dengan menambah pintu air.
Palembang setidaknya membutuhkan 41 pintu air untuk dipasang di setiap aliran anak sungai yang bermuara ke Sungai Musi.
Namun, disayangkan hingga kini Palembang hanya memiliki satu pintu air di hilir Sungai Bendung di Jalan Ali Gatmir, Kelurahan 10 Ilir, Kecamatan Ilir Timur III.
Kepala Dinas PUPR Kota Palembang Akhmad Bastari Yusak mengatakan secara ideal setiap anak sungai itu dipasang pintu air, misalnya di Sungai Buah dan Sungai Jeruju di Kecamatan Ilir Timur II yang rentan terdampak banjir bila air Sungai Musi meluap.
Infrastruktur ini akan lebih maksimal jika pintu-pintu air tersebut juga dipasangkan pompa penyedot air seperti yang dilakukan di Sungai Bendung.
Dengan begitu, fungsi pintu air untuk mereduksi arus balik air akan lebih optimal karena dengan dipasang pompa bisa mempercepat aliran air dari anak-anak sungai itu ke Sungai Musi.
Namun untuk merealisasikan infrastruktur ini tidak mudah karena keterbatasan APBD Kota Palembang. Pembangunan per satu pintu air lengkap dengan pompa air dan perangkat penunjang lain seperti genset membutuhkan dana sekitar Rp10 miliar.
"Kami belum mampu melakukannya sendiri. Akan di bahas dengan pihak terkait lainnya atau akan sangat baik bila ada suntikan dana CSR," kata dia.
Baca juga: Tangani banjir, DPRD Sumsel: Perbanyak kolam retensi di Palembang
Baca juga: Hadapi peningkatan hujan, Pemkot Palembang siagakan satgas banjir
Terpadu
Direktur Utama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Muhammad Hairul Sobri mengatakan banjir di Palembang ini merupakan bentuk akumulasi kerusakan lingkungan hidup yang salah satunya dikarenakan kegagalan para pemangku kepentingan dalam mengurus tata ruang.
Salah satu yang paling mencolok terjadi di Palembang yakni pengalihfungsian kawasan rawa menjadi areal pemukiman dan pemutusan tali air seperti lenyapnya anak sungai.
Akibatnya, daya dukung lingkungan menjadi menurun sehinga banjir tidak dapat dihalau lagi.
Selain kurang piawai dalam mengurus tata ruang, persoalan banjir di Palembang juga disebabkan karena hingga kini pemerintah kota juga tidak memiliki konsep besar untuk menanggulangi banjir. Jadi terkesan pasrah saja,” kata dia.
Penambahan ruang terbuka hijau juga sangat minim sehingga tidak dapat mengejar kerusakan lingkungan yang terjadi.
Jika tidak ada manajemen terpadu untuk mengatasi banjir ini maka dipastikan bencana ini akan semakin parah di masa datang.
Walau sudah ada sejumlah payung hukum seperti Perda Alih Fungsi Lahan tapi dalam implementasinya, Walhi menilai masih terbilang tumpul.
“Banjir ini bukan bencana alam tapi bencana ekologis (akibat perbuatan manusia), jadi harus ditangani segera, jangan selalu menyalahkan alam,” kata dia.
Ketua Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Sumatera Selatan Syafrul Yunardi mengatakan banjir di kawasan hilir tak lepas dari kerusakan di kawasan hilir Sungai Musi. Terkadang pemerintah lupa untuk merestorasi kawasan hulu yang menjadi penyangga kawasan hilir.
Upaya Pemerintah Kota Palembang dalam mengatasi banjir, mulai dari membangun sistem pompanisasi, perbaikan saluran drainase, pembersihan anak sungai sudah terbilang baik.
Namun, upaya itu sejatinya belum menyelesaikan inti persoalan karena volume air yang masuk ke Sungai Musi sudah melebihi daya tampung karena lemahnya penyerapan di hulu.
Forum DAS yang terdiri dari akademisi, birokrat, perusahaan, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, asosiasi (Gapki, Gapkindo dan APHI) mengingatkan Pemerintah Kota Palembang untuk memperkuat kembali sinergi antardaerah.
Forum mengingatkan ini karena pada 2013 sudah lahir dokumen bersama untuk pengelolaan DAS Sungai Musi yang ditandatangani oleh empat gubernur dari Sumsel, Jambi, Bengkulu dan Lampung.
Selain itu, Forum DAS juga menilai perlu adanya inovasi baru dalam penanganan banjir ini, seperti penggunaan mekanisme jasa lingkungan, yang mana pemerintah menunjuk pihak swasta untuk memastikan perbaikan lingkungan.
Model ini sudah dilakukan di beberapa kabupaten/kota di Indonesia, terutama di Jawa untuk mempertahankan kawasan hulu sungai tetap terjaga daya dukungnya.
Terkait pendanaan, daerah yang di hilir akan menyuplai sebagian dana APBD ke daerah di hulu untuk mendukung beragam kegiatan konservasi, seperti penanaman dan pemeliharaan pohon.
“Seperti DKI Jakarta yang memberikan sebagian APBD ke Bogor, dan begitu juga Banten untuk menjaga DAS Cisadane,” kata dia.
Untuk itu, Forum DAS mendorong pengelolaan lingkungan secara terpadu antarprovinsi yang mengesampingkan batas wilayah masing-masing.
Pengelolaan air dan hutan sebaiknya terintegrasi dengan provinsi-provinsi tetangga, sehingga penanganan akan lebih nyata.
Ia menilai kelemahan dalam penanganan masalah lingkungan terletak pada kurangnya sinergi antardaerah.
Padahal, persoalan lingkungan ini tidak dapat dikotak-kotakkan berdasarkan wilayah administratif, karena air dan hutan itu berada dalam satu kesatuan, seperti halnya Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).
Sebenarnya, rencana terpadu antardaerah ini sudah dibuatkan dalam bentuk dokumen oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) sejak beberapa tahun lalu.
“Tinggal implementasinya di lapangan yang masih kurang, sehingga tidak tahu siapa yang harus berbuat (daerah) dan harus berbuat apa,” kata dia.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan wilayah Sumsel, termasuk Palembang akan mengalami puncak musim hujan pada Februari-Maret 2022.
Warga tentunya berharap persoalan banjir di Palembang segera teratasi karena cuaca ekstrem terus mengintai. Penanganan menyeluruh dibutuhkan agar banjir tidak rutin terjadi tiap tahun.
Baca juga: Walhi rekomendasikan Pemkot Palembang tambah kolam retensi
Baca juga: Walhi minta Pemkot Palembang maksimal atasi banjir
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022