Air tanah dan ancaman Jakarta tenggelam

30 Januari 2022 14:50 WIB
Air tanah dan ancaman Jakarta tenggelam
Kawasan permukiman padat penduduk dengan latar belakang gedung pencakar langit dan apartemen di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan diperkirakan menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi air tanah di Jakarta, Minggu (30/1/2022). ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

air laut naik dan permukaan tanah turun

Isu Jakarta akan tenggelam tak hanya menjadi perhatian publik Tanah Air tapi juga dunia internasional, salah satunya sempat disorot Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada 27 Juli 2021.

Saat itu, pemimpin berusia 75 tahun tersebut berpidato di Kantor Direktur Intelijen Nasional AS soal ancaman yang dihadapi dunia saat ini.

Baca juga: Luhut: Jakarta harus sediakan air minum perpipaan 100 persen pada 2030

Menurut dia, perubahan iklim merupakan ancaman terbesar pada era modern yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi, politik hingga sosial.

Dari sekian banyak pengalaman di dunia, Biden menyinggung Jakarta yang diperkirakan akan tenggelam sebagai salah satu dampak perubahan iklim, sehingga membuat pemerintah Indonesia berencana memindahkan ibu kotanya.

"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksi benar dalam 10 tahun mendatang, mereka kemungkinan harus memindahkan ibu kotanya karena akan berada di bawah (permukaan) laut," ujar Joe Biden.

Namun, pemicu yang mengancam Jakarta akan tenggelam bukanlah satu-satunya akibat perubahan iklim.

Ada beragam faktor yang membuat sejumlah pihak khawatir, lama-lama beberapa kawasan di Jakarta akan semakin tenggelam.

Baca juga: Kementerian PUPR-Pemda DKI sinergi bangun sistem penyediaan air minum

Konsumsi Air Tanah

Selain permukaan air laut meningkat, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan ancaman Jakarta tenggelam juga disebabkan penurunan muka tanah yang dipicu konsumsi air tanah yang tinggi.

“Jadi Jakarta ini dua, air laut naik dan permukaan tanah turun,” kata Anies ketika menjadi pembicara webinar Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) pada beberapa waktu lalu.

Konsumsi air tanah di Ibu Kota terbilang tinggi pada beberapa tahun terakhir seiring tingginya pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta.

Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta yang diunggah Unit Pengelola Statistik Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik DKI pada laman statistik.jakarta.go.id, konsumsi air tanah mencapai 8,15 juta meter kubik pada statistik 2018.

Jumlah itu diperkirakan meningkat dengan realisasi periode Januari-September 2019 mencapai 6,69 juta meter kubik.

Berdasarkan wilayah, Jakarta Selatan merupakan daerah yang mengonsumsi air tanah tertinggi di Jakarta, yakni sebesar 4,34 juta meter kubik pada 2018.

Sebaliknya, produksi air bersih yang disalurkan melalui jaringan pipa pemerintah ke masyarakat terbilang lebih rendah.

Baca juga: Menteri PUPR komitmen bangun tiga SPAM untuk cegah Jakarta tenggelam

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta yang merilis statistik air bersih 2017-2019, volume produksi air bersih pada 2019 mencapai 553.518 meter kubik. Sedangkan total produksi air bersih tahun 2019 yang terjual ke pelanggan sebesar 511.854 meter kubik.

Sementara itu, pada 2018 produksi air bersih di Jakarta mencapai sebesar 543.535 meter kubik dan terjual sebanyak 499.301 meter kubik.

Di sisi lain, konsumsi air tanah yang berlebihan itu semakin memperparah kondisi dataran di Jakarta khususnya di daerah pesisir yang nyatanya juga lebih rendah dari permukaan air laut.

Dataran yang lebih rendah itu juga menjadi pemicu rob di pesisir Utara Jakarta.
 

Kawasan Jalasena dengan pemandangan Teluk Jakarta diamati dari Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara, Kamis (26/8/2021) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Laju penurunan tanah

Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Yusmada Faizal dalam seminar daring bertajuk “Jakarta, the sinking city?” pada Kamis (2/9/2021) menjelaskan pihaknya melakukan pengukuran penurunan tanah sejak 1997.

Adapun titik-titik penurunan tanah di atas 10 cm per tahun paling banyak berada di kawasan Utara dan Barat Jakarta dan penurunan tanah kurang dari dua hingga 10 cm per tahun terjadi hampir merata di seluruh Jakarta.

Baca juga: Tim SAR gabungan lanjutkan pencarian bocah tenggelam di Kali Ciliwung

Yusmada memaparkan laju penurunan tanah pada periode 1997-2011, yakni rata-rata mencapai 20 cm per tahun di Muara Baru, Jakarta Utara dan sebesar 10 cm per tahun di Pluit, Jakarta Utara serta di Gunung Sahari, Jakarta Pusat sebesar 8 cm per tahun.

Namun, pada pengukuran 2011-2018 terdapat pengurangan laju penurunan tanah yang awalnya 20 cm per tahun menjadi 12 cm per tahun di Muara Baru, Pluit masih tetap 10 cm dan Gunung Sahari 6 cm per tahun.

“Tingkat penurunan (tanah) sudah berkurang karena salah satunya kami mulai memastikan suplai air perpipaan dan berupaya mengendalikan penggunaan air tanah,” ucapnya.

Sedangkan elevasi daratan di kawasan pesisir DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa ancaman Jakarta tenggalam semakin nyata.

Dinas SDA DKI Jakarta mencatat pada 2020, ketinggian beberapa wilayah di Jakarta Utara berada di bawah permukaan laut misalnya di Muara Baru mencapai minus satu meter di bawah permukaan laut.

Kemudian di Pluit, minus 1,15 meter dan di Gunung Sahari minus 0,50 meter di bawah permukaan laut.

Yusmada mengungkapkan apabila tidak ada aksi nyata, diperkirakan pada 2050 area pesisir Jakarta yang di bawah permukaan laut dapat mencapai empat meter di Muara Baru, kemudian 4,15 meter di Pluit.

Namun, kondisi ini sangat tergantung dengan laju penurunan tanah. Jika laju penurunan tanah dapat dikurangi maka proyeksi penurunan itu dapat ditahan tidak sampai empat meter.


Mengendalikan konsumsi air tanah

Saat ini cakupan layanan air minum perpipaan di Jakarta baru mampu memenuhi 64 persen yang menyuplai 20.725 liter air per detik untuk 908.324 sambungan pelanggan.

Keterbatasan ini yang diperkirakan masyarakat tidak memiliki akses air minum perpipaan namun malah menggunakan air tanah secara terus menerus sehingga menjadi salah satu penyebab penurunan muka tanah.

Untuk itu, siasat meningkatkan layanan air bersih perpipaan menjadi salah satu solusi untuk menekan penggunaan air tanah yang dapat menahan laju penurunan tanah.

Baca juga: DKI Jakarta perkuat kapasitas adaptasi perubahan iklim

Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta meneken nota kesepakatan sinergi dan dukungan penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).

Nota kesepakatan itu mencakup rincian program, jangka waktu serta skema pembiayaan yang tepat melalui sinergi proyek SPAM.

Nantinya, BUMD DKI Jakarta yakni PAM Jaya harus mampu menyediakan suplai tambahan sebanyak 11.150 liter per detik dan tambahan infrastruktur distribusi yang mencakup 35 persen wilayah pelayanan baru untuk perpipaan kepada kurang lebih satu juta tambahan pelanggan baru pada 2030.

Kementerian PUPR juga menginvestasikan sebesar Rp2,1 triliun untuk proyek infrastruktur SPAM hilir.

Proyek itu untuk penyerapan air minum curah tahun pertama Proyek SPAM Regional Jatiluhur I, SPAM Regional Karian-Serpong, dan fasilitasi proyek terkait pembangunan Instalasi Pengolahan Air Buaran III.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) M. Basuki Hadimuljono mengatakan pemerintah membangun tiga SPAM Regional melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) untuk mendukung pelayanan air minum di DKI Jakarta.

Adapun tiga proyek itu, yakni SPAM Regional Jatiluhur I dan SPAM Regional Karian-Serpong yang saat ini telah berjalan, serta SPAM Regional Djuanda/Jatiluhur II masih dalam tahap penyiapan.

Keberadaan tiga SPAM Regional tersebut, diharapkan dapat menambah kapasitas suplai air minum Provinsi DKI Jakarta sebesar 9.254 liter per detik yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan cakupan pelayanan sebesar 30 persen.

Dengan kerja sama Pusat dan DKI itu, Anies Baswedan menargetkan pada 2030 Jakarta terlayani 100 persen akses layanan air minum perpipaan.

Baca juga: BRIN: Penurunan muka tanah penyebab utama potensi Jakarta tenggelam

Di sisi lain, Anies Baswedan juga sudah menerbitkan kebijakan pembatasan dan pelarangan pengambilan air tanah di wilayah yang telah dilayani jaringan perpipaan PAM Jaya yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zonasi Bebas Air Tanah.

Pergub tersebut mulai berlaku 1 Agustus 2023 dengan ketentuan pelarangan konsumsi air tanah bagi pengelola bangunan dengan kriteria gedung dengan luas lantai 5.000 meter persegi atau lebih dan atau jumlah lantai delapan atau lebih.

Meski begitu, Anies masih mengizinkan pengambilan air tanah untuk pengeringan area penggalian untuk bangunan bawah tanah atau dewatering.



Foto aerial kawasan tanggul laut di Muara Baru, Jakarta, Sabtu (18/12/2021). ANTARA/Dhemas Reviyanto


Sementara itu, untuk mengantisipasi rob di pesisir utara Jakarta, juga dibangun tanggul rob sejak 2019.

Pemprov DKI menyelesaikan sepanjang 12,6 kilometer dari target prioritas sepanjang 46 kilometer atas kolaborasi bersama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan kekurangannya sepanjang 33 km akan dikerjakan oleh Kementerian PUPR sepanjang 11 km dan Pemprov DKI 22 km.

Masyarakat tentunya menantikan realisasi layanan air bersih perpipaan di Jakarta. Tak hanya itu, kesadaran untuk mengerem konsumsi air tanah juga perlu didukung semua elemen masyarakat dan dunia usaha.

Meski begitu, perlu dijamin kuantitas, kualitas serta keberlanjutan layanan air bersih perpipaan agar masyarakat beralih dari air tanah ke air bersih pipa.

Baca juga: BRIN: Hindari pembangunan masif utara Jakarta cegah potensi tenggelam

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2022